Minggu, 22 Desember 2024

SEJARAH LMR-RI

LEMBAGA MISSI RECLASSEERING REPUBLIK
INDONESIA.
MUTIARA BAGI GENERASI PENERUS
PENDIRI & KETUA DEWAN PEMBINA DAN

PENASEHAT LMR-RI

Pada edisi Mei 2001, Buku Lintasan Sejarah
Reklasering mengalami pembenahan dan pelurusan
sesuai semangat Reclasseering. Untuk itu, secara
khusus saya sampaikan pesan bagi seluruh pemerhati
dan pejuang Reclasseering Republik Indonesia untuk<
senantiasa mempertahankan Lembaga Missi
Reclasseering Republik Indonesia, dengan cara dan
pola serta mekanisme yang benar dan sesuai dengan
semangat Anggaran Dasar LMR-RI, sehingga apabil
terdapatkekeliruan dan atau penyimpangan dalam
menjalankan Missi Reclasseering, maka para fungsionaris
harus segera meluruskan, membenahi dan menjernihkan
permasalahannya.Klarifikasi terhadap adanya penyim-
pangan dalam menjalankan, Organisasi sangatlah
mutlak, sebab Lembaga ini adalah Lembaga yang
membawa Missi Mulia berkaitan dengan Missi Kema-
nusiaan yang peduli terhadap Penegakkan Supremasi
Hukum dan HAM sejak perjuangan kemerdekaan
Bangsa Indonesia. Untuk itu, saya menyarankan agar
para fungsionaris LMR-RI senantiasa menghormati,
melindungi menjaga wibawa dan nama baik Organisasi.
Lakukanlah Hal-Hal Mulia bagi sesama manusia tanpa
harus membedakan Asal-usul Suku, Agama dan Ras.

Jakarta, M e i 2001

             Ttd.

Prof. DR. Drs. GPH. Tjokrodiningrat, SH
J e n d e r a l T N I ( P u r n )

SEKAPUR SIRIH
KETUA PELAKSANA HARIAN LMR-RI

Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia dalam Lintasan Sejarah dan Peranan Masa Kini yang disusun oleh Penulis adalah sangat baik dan tepat.
Baik dan Tepat dalam arti kata, secara historis aktifitas Lembaga Missi Reclasseering R.I. sangat baik dan tepat, karena memaparkan dan membuka tabir tentang asal-usul Perintis, Pendiri dan Pengurus Lembaga Missi Reclassering Republik dari masa ke masa.
Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia sebagai Lembaga Hukum dan Reclassering di Indonesia yang sangat sarat bermuatan sejarah perjuangan, namun sebagai Lembaga Pejuang dan Profesi, Non Ormas Partai Politik dan Independen selalu disikapi oleh anggota-anggota Reclassering.
Reclassering Republik Indonesia akan selalu mengawal Kebebasan dan Kemerdekaan berbangsa dan bernegara dalam tatanan Hukum dan Harkat-Martabat Manusia Indonesia.
Reclassering Republik Indonesia didalam memasuki Millenium Ketiga Abad XXI yang dikenal sebagai abad Informasi, Komunikasi dan Teknologi, menyadari keberadaan bangsa ini yang tengah diperhadapkan dengan banyak persoalan serius.
Masa kini yang dikenal dengan masa serba Krisis, yaitu meliputi Krisis Hukum, Ekonomi – Moneter, Pendidikan dan Budaya telah membawa bangsa ini kepada nilai-nilai negatif. Hal ini merupakan tantangan bagi tugas-tugas Missi Reclassering. Namun tantangan ini akan dijawab oleh Generasi Penerus Reclassering dengan Peran Masa Kini, yaitu melindungi Moral Bangsa dari kehancuran dengan mensosialisasikan Hukum dan Reclassering kepada Masyarakat dan Negara.
Atas dasar mendidik masyarakat agar sadar, mengerti dan memahami Hak – Kewajiban dan Tanggungjawab sebagai warga negara yang baik dan benar, diharapkan dapat mengembalikan nilai Budaya Positif Bangsa ini sebagai Bangsa yang Besar.
Peran Reclassering masa kini ialah senantiasa hadir dimana-mana, karena Reclassering adalah milik kita. Reclassering juga adalah pengemban Hukum dan Keadilan Indonesia.
“Kenal diri kita, maka kita kenal Reclassering”
Lindungilah diri anda melalui perjuangan Reclassering, sebab Reclassering adalah Lembaga Penjamin Berbangsa dan Bernegara di Bumi Pertiwi tercinta
.

“Kobarkan Semangat Membangun Bangsa”
Jakarta, M e i 2001

Ttd.
(H. RUSLI ABDUL KADIR, SH)

BAB I
MUKADIMAH.
Pengertian Reclasseering
Pada hakikatnya Reclasseering bermakna :1. Menjernihkan kembali sesuatu yang telah tercemar, Membetulkan kembali sesuatu yang salah, dan Meluruskan kembali sesuatu yang keliru atau yang menyimpang ;2. Mengangkat kembali Harkat dan Martabat Manusia kepada Fitrahnya;3. Mengembalikan/memulihkan tatanan yang rusak (Hukum) kepada tatanan kehidupan yang normal ;

4. Membentuk, Menempa, Membina, dan Membimbing orang-orang yang tersangkut perkara hukum dan kepada Para Narapidana, eks narapidana/residivis agar nantinya kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat dibekali Budi Pekerti, Berakhlak, memiliki Mental/Moral yang Taat Hukum serta memiliki Keahlian Pekerjaan untuk Penghidupannya Kelak serta Memulihkan/Merehabilitasi akhlak dan kehidupan para Penyandang Ketunaan agar menjadi manusia yang berguna dan berwawasan positif, baik bagi dirinya, orang lain atau masyarakat maupun untuk bangsa dan negara.

B. Penjabaran Sejarah Singkat Reclasseering Republik Indonesia
Tulisan ini menjabarkan sekilas fakta sejarah berkaitan dengan peran-peran positif LMR-RI dalam mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Demikian pun halnya dengan perannya menciptakan Rasa Aman (Security Feeling) dalam Negara, khususnya dalam masa-masa genting. Secara proaktif Reclasseering bekerja-sama dengan Instansi Pemerintah atau Swasta dengan poros utama, bekerja untuk Negara dan Masyarakat dalam upaya Penegakkan Supremasi Hukum dan HAM yang diimplementasikan melalui program-program aktual.BAB II
RIWAYAT SINGKAT
PENGGUNAAN ISTILAH RECLASSEERING
A. Pendahuluan
Istilah “Reclasseering”, baik secara literal (etimologi) maupun kontekstual, secara singkat pengertiannya diangkat dan dijabarkan melalui kamus atau ensiklopedia. Adapun pembahasan istilah “Reclasseering” dimaksud, secara khusus diambil dari sumber atau kamus Bahasa Belanda dan Bahasa Indonesia.
Mengapa demikian? Alasannya ialah penggunaan dan pemakaian kata atau istilah Reclasseering di Indonesia, untuk pertama kali dibawa oleh Bangsa Belanda. Para Pakar Hukum Belanda, termasuk pengembang ide atau konsep “Reclasseering” di Indonesia antara lain Dr. Douwes Dekker. Tentunya Bangsa Indonesia dalam konteksnya sebagai Bangsa yang dijajah Hindia Belanda dapat mempengaruhi perbendaharaan bahasa Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari kamus Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS. Poerwadarminta, dimana penggunaan istilah tersebut masuk dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia.
Demikianlah dapat dikatakan bahwa istilah Reclasseering yang kita kenal sekarang di Indonesia tentunya memiliki Alasan Historis. Hal tersebut terbukti karena konteksnya didukung oleh keberadaan Bangsa Indonesia pada masa silam, dimana secara faktual Bangsa Indonesia adalah Bangsa Jajahan Hindia Belanda. Sejarah mencatat bahwa Bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih 350 tahun, sebab itu tidak menutup kemungkinan kata “Reclaseren” diadopsi dan digunakan dalam wacana bahasa Indonesia.B. Etimologi “Reclassering
Menurut Kamus Belanda – Indonesia
Menurut perbendaharaan dan penjelasan dalam kamus Belanda – Indonesia terbitan Nusa Indah, Yogyakarta , 1992 yang disusun oleh MRR. Soekartini, SH, istilah atau kata Reklasering ialah : Reclasseren yang memiliki pengertian harfiah :1. Menjernihkan Kembali,2. Menempatkan kembali ke dalam masyarakat.Kamus Umum Bahasa Indonesia
W.J.S. Poerwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia, terbitan PN. Balai Pustaka, Jakarta tahun 1985, menyatakan: Reklasering memiliki pengertian sebagai berikut :
1. Pengembalian kepada masyarakat (seperti memberi bantuan kepada orang-orang yang baru keluar dari penjara supaya dapat pekerjaan),2. Mengawasi orang yang di hukum dengan syarat,3. Mengembalikan kepada kehidupan yang normal di masyarakat.C. Studi Kata “REKLASERING”Menurut studi kata; REKLASERING berasal dari istilah Hukum Belanda “Reclaseren”, sedikitnya terdiri dari kata “RE” ( Latin: Re ) yang memiliki arti: Mengembalikan, Menempatkan kembali atau Kembali keasal-mula (ke bentuk semula); Dan kata “CLASEREN” atau CLASSERING yang memiliki arti : 1. Menjernihkan, 2. Membetulkan, 3. Ketengah-tengah/kedalam kehidupan yang normal di masyarakat.D. Definisi ReklaseringREKLASERING atau RECLASSERING memiliki pengertian/pemahaman yang berkaitan dengan tuntutan pokok atau tuntutan dasar/hakiki manusia ; Pertama; dalam arti yang luas, yaitu :1. Menjernihkan/membetulkan/meluruskan kembali segala sesuatu yang telah tercemar/kotor/salah dan keliru/menyimpang,2. Mengembalikan citra manusia kepada fitrahnya,

3. Melakukan tindakan pembinaan, penyuluhan/bimbingan hukum dan kekaryaan / keterampilan kerja kepada masyarakat”,

4. Mengembalikan atau memulihkan Harkat dan Martabat Manusia (Resosialisasi) dengan mengutamakan nilai-nilai Hak Azasi Manusia. Kedua dalam arti khusus, yaitu :

1. Membina, membimbing dan meluruskan orang-orang yang tersangkut perkara hukum,

2. Mengembalikan Akhlak Para Nara Pidana ke dalam kehidupan bermasyarakat, baik melalui Hukuman Pelepasan Bersyarat dan atau Hukuman Perjanjian,

3. Mengadakan patronase/pengawasan khusus berkaitan dengan pelaksanaan hukum dimasyarakat dan terhadap Para Nara Pidana yang mendapat Pelepasan Bersyarat dan atau Hukuman Perjanjian di dalam kehidupan bermasyarakat.

E. Penggunaan Kata “Reclassering”

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbitan Politeia, Bogor edisi 1998 oleh R. Soesilo, terjemahan “Reclassering”, terdapat dalam pasal-pasal berikut:
a. Penjelasan Pasal 14 d menyebutkan atau memakai istilah ” reclassering atau Pra Yuana.”
b. Pasal 16 ayat 2 menyatakan ” Keputusan sebelumnya Dewan Pusat untuk Reclassering di dengar.” Penjelasan
Psl 16,”Pelepasan bersyarat itu dengan pertimbangan Dewan Pusat Reclassering.”

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbitan Bumi Aksara, Jakarta edisi 1999 oleh Moeljatno, SH, menggunakan terjemahan “Reklasering”, terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2 menyatakan: “Keputusan sebelum Dewan Reklasering Pusat di dengar.

Uraian Penetapan/Keputusan Menteri Kehakiman RI
Secara tersurat penggunaan kata “Reklassering” dalam uraian Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI tahun 1954 dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tahun 1956 sebagai berikut:
“Menyatakan sah Anggaran Dasar perkumpulan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia ” (Petikan Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI tanggal 12 Nopember l954 Nomor: J.A.5/105/5)
Petikan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 9 Juni 1956 dengan Nomor: J.H.7.1/6/2, menyebutkan : “Mengakui Badan Reklasering di Jakarta sebagai perkumpulan Reklasering; petikan disampaikan kepada:
Ketua Badan Pusat Reklasering di Djakarta ( JalanGondangdia Lama No. 9 ),
Pusat Presidium Lembaga Missi Reklasering Republik
Indonesia di Djakarta / d.a. Dr. R. Mustopo,
Ketua Lembaga Missi Reklasering Republik Indonesia di
Djakarta Jl. Gadjah Mada 185.”

Pasal-Pasal Dalam AD/ART LMR-RI
Para pendiri LMR-RI menggunakan kata “Reklasseering”, seperti dalam pasal-pasal berikut ini:
Pasal 1 “Perkumpulan ini bernama “Lembaga Missi Reklasseering Republik Indonesia (LMR-RI) ” , Demikian pula dalam Pasal 3 A.3,4, pasal 4. 1, 7, 8 dan 10 menggunakan kata “Reklasseering” Sedangkan di dalam Anggaran Rumah Tangga yang dipergunakan pada masa Kepemimpinan T. Soetono, terhitung sejak tanggal 1 Pebruari 1995 sampai tahun 1999 ialah kata “Reclasseering” , hal ini terdapat dalam Pasal 2, 5, 8, 9, 10 dan 15.

Buku / Sumber Penunjang Lainnya

a. Buku “Polres Sebagai Kesatuan Operasional Dasar
Achmad Turan dalam bukunya “Polres Sebagai Kesatuan Operasional Dasar”, terbitan Diskum Mabes Polri, Jakarta 1998 , menyebutkan:
” Tugas Polisi Badan Reklasering, Kepanduan, Pemasyarakatan, bertujuan untuk mencegah orang melakukan kejahatan ”

b. Surat Edaran Jaksa Agung
Surat Edaran Jaksa Agung Pada Mahkamah Agung Indonesia, Soeprapto kepada seluruh Kantor Kejaksaan tertanggal 30 Oktober 1952, menyebutkan antara lain: ” seharusnya oleh Kementerian Kehakiman diangkat pegawei2 jang disebut reclasseering amtenar “, selanjutnya disebutkan “Disamping itu masing2 tempat didirikan perkumpulan2 reclasseering yang bertugas memberikan pimpinan sekedarnja kepada mereka jang dibebaskan sewaktu mereka kembali di masjarakat dan juga mengawasi tingkah lakunja mereka seterusnja untuk mendirikan perkumpulan relasseering, walaupun sementara merupakan bentukan panitia belaka untuk bahan2 dan petunjuk2 tentang pekerdjaan reclasseering dapat sudara menasehatkan kepada orang2 jang sanggup bekerdja dilapangan reclasseering.”

c. Surat Dinas Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan
Surat Dinas Kantor Besar Djawatan Kependjaraan Kementerian Kehakiman Republik Indonesia kepada Pimpinan LMR-RI, An. Kepala Djawatan Kependjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering: Inspektur: Kartodarmodjo, demikian petikan atas surat tersebut:
“Djakarta, 22 Mei 1954, Kepada Sdr. I.F. Gunadi Dari Misi Reklasering Di Malang.”, Selengkapnya ditulis: “Usaha mengembangkan pekerdjaan reklasering Kami menerangkan, bahwa dari pihak kami telah diusahakan agar pekerdjaan reklasering dapat makin diketahui umum kami minta agar pengganti pegawei2 reklasering mendirikan perkumpulan2 reklasering ”

d. Surat Direktur Kepenjaraan Daerah Madura di Pamekasan
Permohonan Direktur Kepenjaraan Madura di Pamekasan, M.B. Brotoasmoro kepada Komisariat Lembaga Missi Reklassering Republik Indonesia Propinsi Jawa Timur Djl. Sawahan 20 di Malang, pada tanggal 3 September 1958, Selengkapnya kutipan surat tersebut sbb: ” kiranja kami diberi dengan tjuma2 buku untuk bahan2 dan petundjuk2 mengenai Reklassering ”

Kesimpulan Penggunaan Kata “Reklasering”
Kata “Reclasering” berasal dari kata “Reclaseren”, yaitu dari Istilah Hukum Belanda ; Kata tersebut oleh WJS. Poerwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia ditulis dan diterjemahkan menjadi “Reklasering”.

Kata Reklasering Dalam 5 (Lima) Versi
Secara terpisah-pisah , kata “Reklasering” digunakan dalam berbagai momentum baik dalam bentuk buku atau tulisan ilmiah dan dalam bentuk surat Instansi, dengan 5 (Lima) Versi:

1. REKLASERING
2. RECLASSERING
3. RECLASSEERING
4. REKLASSERING
5. REKLASSEERING.

Istilah Kata Yang Tepat
Berdasarkan kamus dan pedoman bahasa Indonesia EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), dalam hal ini penulis berpendapat bahwa istilah atau kata yang tepat untuk dipakai adalah REKLASERING dan atau kemungkinan kedua RECLASSERING seperti dituangkan dalam catatan dan penjelasan KUHPidana, khususnya penjelasan pasal 14 d dan pasal 16 ayat 2, namun bukan berarti penggunaan istilah kata yang lainnya salah, tetapi hanya kurang tepat, sebab etimologi, menyebutkan/menjelaskan bahwa, Reklasering berarti menjernihkan kembali atau mengembalikan citra manusia kepada fitrahnya dan atau mengembalikan eks Nara Pidana (Residivis atau Bromocorah) ke dalam masyarakat melalui Pelepasan Bersyarat dan Hukuman Perjanjian disebut “REKLASERING”.

BAB III
RECLASSEERING
PRA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Masa Penjajahan Belanda dan Penjajahan Jepang

Data akurat yang menjabarkan peranan dan eksistensi Reclasseering terdapat dalam KUHPidana yang telah dipersiapkan sejak tahun 1915. Reclasseering adalah Lembaga Penyeimbang antara terhukum dengan hukuman/aturan yang diberlakukan kepadanya, dimana sekalipun telah divonis Hakim, namun terhukum masih diberi peluang mendapatkan “Pembinaan” di luar tembok penjara seperti diatur dalam Ordonnansi Reclasseering yang khusus dirancang dan dibuat untuk orang-orang hukuman.
Terlepas dari konteks Negara Jajahan atau Pemerintah Kolonial, Reclasseering bertitik-tolak dari maksud mulia, yaitu mengangkat Harkat dan Martabat Manusia. Inilah salah satu alasan yang sangat mendasar, sehingga Mr Dr. Douwes Dekker beserta kawan-kawannya berusaha mengimplementasikan ”Gagasan Reclasseering” seperti dimaksud KUHPidana agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan Rakyat, khususnya para terhukum mendapatkan keadilan. Sekalipun Mr. Dr. Douwes Dekker berkebangsaan Belanda, namun memiliki hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dikemudian hari Mr. Dr. Douwes Dekker berjuang bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dengan nama Dr. Setia Budi dan menggunakan nama samaran dalam penulisan karangan/tulisan yang dikenal dengan nama Multatuli.

Pelaksanaan Pekerjaan Reclassering
Berdasarkan bukti Sejarah, Pelaksanaan Pekerjaan Reclassering di Indonesia telah dimulai sejak masa Penjajahan Belanda, yaitu bertolak dari Ordonansi tanggal 27 Desember 1917 – Staatsblad 1917 Nomor 749, dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1918.
Demikian pula ketentuan pelaksanaannya seperti yang diatur dalam KUHPidana Pasal 14, 15, 16 dan 17; Secara khusus diatur pula melalui Keputusan Kepala Negara (Pemerintah Hindia Belanda) tanggal 4 Mei l926 No. 18. Dalam hal ini terpidana dapat meminta kepada Badan Reclassering untuk pembebasan bersyarat dan / atau pembebasan dengan perjanjian apabila yang bersangkutan memenuhi syarat dan setelah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman melalui mekanisme yang berlaku.

Tokoh Pemerhati Reclasseering
Kepedulian para pemerhati Kemanusiaan di Zaman Penjajahan Belanda, khususnya ketika “Reclasseering” mulai diaktifkan; Mula-mula diwujudkan melalui usaha membentuk wadah perjuangan yang ketika itu dikenal dengan sebutan “Perhimpunan Indonesia”. Mr. Abdul Madjid Djojo Adhiningrat, Mr. Mohammad Hatta, Mr. Ali Sastroamidjojo dan Muhammad Nasir Datuk Pamuntjak adalah para tokoh pendiri “Perhimpunan Indonesia” di negeri Belanda sekitar tahun 1926 – 1927. Sekalipun mereka pada saat itu sebagai Mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda, namun mereka menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya bagi Ibu Pertiwi.
Di antara tokoh pejuang kemerdekaan tersebut, seperti Prof. Abdul Madjid Djojo Adhiningrat berinisiatif membentuk “Organisasi Reclasseering” di Indonesia beserta tokoh lain misalnya H. Irlan mantan Kepala Kejaksaan Serang – Jawa Barat.

Tokoh Pejuang Indonesia di Negeri Belanda Dipenjarakan
Kegiatan utama dari Perhimpunan Indonesia ialah mengejar kemerdekaan Tanah Air dan Bangsa Indonesia. Aktifitas dan kegiatan mereka tersebut, khususnya seperti yang dimuat dalam majalah “Indonesia Merdeka” edisi nomor Maret- April 1927, telah menimbulkan semangat juang di antara para pemuda di Tanah Air, sehingga Pemerintah Hindia Belanda menganggap mereka telah mempropaganda rakyat Indonesia untuk menentang Penjajahan di Indonesia.
Akibat dari pergerakan tersebut, maka ke empat tokoh ini ditangkap dan ditahan dalam Bui di negeri Belanda sampai berbulan-bulan lamanya. Alasan penahanan tersebut ialah karena mereka dianggap telah melanggar pasal 131 Hukum Siksa Negeri Belanda. Kemudian demi penegakan hukum dan keadilan, maka ke empat tokoh Mahasiswa tersebut diajukan sebagai terdakwa oleh “Officier van Justitie” dengan tuntutan 2 sampai 3 tahun hukuman penjara dan atau dilarang masuk ke Indonesia.
Dalam penuntutan tesebut, ke empat tokoh yang telah ditahan dan diproses secara hukum mendapat pembelaan Hukum dari Advocaat Partai SDAP di negeri Belanda yang terdiri dari 2 (dua) orang Advocaat, yaitu Mr. Duys dan Mr. Mobach. Ternyata dalam putusan di pengadilan, Majelis Hakim menyatakan bahwa mereka bebas dari tuntutan.

Organisasi Reclasseering Pernah Didirikan Tahun 1931
Pengalaman tersebut di atas menunjukan bahwa Abdul Madjid Adhiningrat beserta kawan-kawan mendapat “Ide Reclasseering” untuk menjadi “salah satu sarana perjuangan”, disamping organisasi-
organisasi perjuangan yang sudah ada. Demikian pula setelah memahami bahwa missi dari Reclassering berkaitan dengan orang-orang terpenjara, baik Narapidana karena kejahatannya maupun para tahanan politik yang dianggap menentang kekuasaan Pemerintahan Belanda, maka harapan untuk me- “Nasional-kan” Reclasseering serta untuk menjadikannya sebagai salah satu Organisasi Perjuangan, sehingga pada tahun 1931 Organisasi ini berdiri. Adapun pelaksanaannya bertitik tolak dari Pasal 8 Ordonansi V.I. 1926 Nomor 488 khusus Jawa dan Madura.
Terlepas dari pengertian sebagai Lembaga Hukum dan HAM ; Reclasseering adalah Potensi Perjuangan bagi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, sebab itu para pejuang Kemerdekaan Indonesia menjadikannya salah satu sarana/wadah dan alat perjuangan diantara kelompok-kelompok pejuang lainnya untuk menentang Kolonialisme Belanda dan Kekejaman Penjajahan Jepang. Sekalipun tidak menyatakan diri secara terang-terangan bahwa “Missi Reclassering” sebagai wadah perjuangan, namun eksistensinya tak dapat diragukan. Ketika itu semua organisasi yang berbau politik harus seizin/diketahui serta mendapat pengawasan ketat dari Pemerintah Penjajahan.
Digunakannya “Missi Reclassering” sebagai sarana perjuangan bawah tanah, karena secara faktual Reclassering telah diketahui Pemerintahan Penjajah sebagai “Lembaga HAM” yang mengurus orang-orang tahanan/penjara. Hal ini “memberi peluang” bagi gerakan pejuang bergerak leluasa, apalagi para tahanan/penjara merupakan salah satu “Potensi Kekuatan Perjuangan Kemerdekaan”.
Haruslah diakui bahwa, Reclasseering di Zaman Belanda adalah Reclasseering yang masih kuat pengaruh Pemerintahan Penjajahan. Hal ini pula yang memperkuat semangat para pejuang kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk memperkokoh perjuangan melalui “Organisasi Reclasseering” yang bergerak secara “siluman”.

Pengalaman Khusus Ir. Soekarno Di Penjara
Para pejuang kemerdekaan, seperti telah diuraikan di atas secara nyata mengalami penderitaan, sehingga mereka tahu persis bagaimana keadaan dan kondisi dalam penjara, terutama sebagai penghuni Bui dengan tuduhan telah melakukan tindakan subversif atau menghimpun gerakan politik menentang Pemerintah Hindia Belanda.
Tokoh Pejuang Indonesia Merdeka lainnya yang juga pernah ditahan dalam penjara ialah Ir. Soekarno. Sejak awal beliau telah masuk Bui berkali-kali, hal ini terbukti pada tahun 1931 ditahan dan dipenjarakan hampir satu tahun penuh di Penjara Sukamiskin, Bandung – Jawa Barat.
Menurut fakta sejarah, penjara Sukamiskin dimana beliau ditahan, ruang tahanan berukuran 1,50 X 2,50 M2 dengan segala fasilitas dan makanan yang sangat dibatasi. Termasuk pekerjaan selama di penjara sangatlah menyiksa bathin serta tindakan kekerasan yang diberlakukan merusak badan.
Dua (2) tahun kemudian Ir. Soekarno dan rekan-rekan perjuangan lainnya ditangkap dan dibuang ke Endeh, Flores. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1933 dan berakhir sekitar tahun 1936. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Ir. Soekarno terputus dan terhindar dari rekan-rekan pejuang kemerdekaan lainnya yang terus menerus mengadakan Rapat-Rapat untuk menuju kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda tahu persis bahwa pengaruh dan propaganda Tokoh Pejuang ini sangatlah luas dan menjanjikan kepastian. Telah diketahui pula oleh Perintah Hindia Belanda bahwa, di negeri Indonesia pada waktu itu terdapat beberapa perkumpulan atau kelompok perjuangan kemerdekaaan, antara lain, Kaum Nasionalis, Kaum Pan – Islam, termasuk kelompok yang beraliran Komunis. Tetapi sejak awal, kenyataannya Ir Soekarno tetap dalam pendiriannya, yaitu konsep Nasionalis yang taat beragama sangat berseberangan dengan pihak Semaun yang Komunis itu. Apalagi kaum Pan-Islam, tentunya tak akan sejalan dengan kelompok Semaun tersebut. Walaupun mereka pernah memberontak kepada Pemerintah Hindia Belanda di akhir tahun 1920-an, tetapi prinsip kemerdekaan yang mereka tawarkan ialah Indonesia Merdeka dengan Ajaran Komunis atau Negara Komunis Indonesia.
Demikian sekilas pengalaman Ir. Soekarno di antara pengalaman lainnya, khususnya pengalaman ditahan dalam sebuah Penjara atau Bui Zaman Penjajahan Belanda karena tuduhan / dakwaan Politik dari Pemerintah Hindia Belanda.

B. Masa Penjajahan Jepang s/d Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Bangsa Indonesia Dalam Genggaman Jepang
Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia kalah terhadap Dai Nippon dalam peperangan dan Bangsa Indonesia secara langsung jatuh ketangan Dai Nippon, terhitung sejak tanggal 11 Maret 1945. Para pejuang Bangsa Indonesia yang di penjara selama Belanda berkuasa tetap terbelenggu, termasuk beberapa titipan tahanan, seperti Kusen, Ponidjo, Mr. Amir Sjarifudin, Dr. Latumenten, dll.

 

Sejarah membuktikan bahwa Para Generasi Muda dan seluruh rakyat Indonesia menjadi alat Dai Nippon untuk kepentingan perang dan kekuasaan belaka. Hal-hal tersebut sebagai berikut :

1. Menjadi Tentara PETA (Pembela Tanah Air), yang dibentuk pada bulan Oktober 1943.
2. Menjadi Tentara Kerja Paksa (Romusha), yaitu menggali tanah perlindungan dipantai-pantai dan membuat goa-goa digunung-gunung sebagai pertahanan terhadap serangan tentara sekutu.
3. Para Romusha dikirim ke Bangkok, Malaysia, Korea dan Jepang sebagai pekerja bangunan, jembatan, rel kereta api, dll.
4. Para Romusha diharuskan membuat Sumur sedalam 100 m dengan lebar 2 m di Bayah – Banten Selatan
5. Para Pemuda Menjadi Tentara Hei-Ho.
6. Dilatih secara Militer di pusat latihan Militer Tangerang (Seinen Dojo), Kamikase, Tokubetsu, Dan lain-lain.
7. Lulusan Seinen Doyo (Selama 6 bulan) dikembalikan ke daerahnya dan ditugasi membentuk Seinendan (Barisan Pemuda)
8. Para Wanita dijadikan Fujinkai.
9. Orang-orang hukuman tanpa diproses/tidak jelas menjadi Inventaris Penjara.
10. Penduduk yang beragama Islam dilatih menjadi Juru bahasa Arab
11. Semua penduduk wajib menanam Pohon Jarak untuk bahan pelumas Kapal dan atau Pesawat tempur Dai Nippon.

Cita-Cita Para Generasi Muda
Ditengah-tengah penderitaan Bangsa Indonesia, yaitu jauh sebelum Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, diantara generasi muda Bangsa terdapat orang-orang yang memiliki
cita-cita untuk segera membebaskan belenggu Bangsa Indonesia dari Penjajahan, tertutama dari Penjajahan Dai Nippon yang luar biasa kejamnya.
Fakta menunjukkan bahwa, ketika itu Hukum dan Sistem Peradilan yang biasanya digunakan tidak mampu menembus Undang-Undang Gun Sirei Jepang. Pengacara dan Advokat pun dimasa itu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Ilham Reclasseering
Tercatat dalam sejarah bahwa, dimasa penjajahan Jepang setiap hari ratusan rakyat Indonesia yang diromushakan mati kelaparan, karena perlakuan Jepang yang sangat terkenal kejam; mereka dikuburkan disepanjang Pantai dan di dalam goa yang berada di gunung-gunung se- pulau Jawa dan Madura. Sedangkan bagi mereka yang bisa bertahan hidup rata-rata tinggal kulit melekat pada tulang dengan wajah kusut, pucat dan keriput.
Disaat-saat yang sangat krisis dan gawat menimpa Bangsa Indonesia tersebut, maka turunlah “Ilham Reclassering” bagi bangsa ini melalui sekelompok pemuda yang sangat mencintai Bangsa Indonesia. Dalam aktifitasnya, mereka menggunakan sandi dengan nama “Kelompok 41” (empat puluh satu ), karena bermula dari empat puluh satu orang, diantaranya Mr. R. Moestopo, Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara, Mr. Bendoro Raden Mas Tjokrodiningrat, Kotot Sukardi, Umar Bahsan dan lain-lain.
“Ilham Reclasseering” ini tentunya bermakna positif, yaitu agar “Potensi Reclasseering” dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi perjuangan kemerdekaan bangsa. Dengan kata lain “Reclasseering” diproses secara alami menjadi Reclassering Republik Indonesia. Hal ini bergulir ditengah-tengah semangat perjuangan sekitar tahun 1942.

Barisan Berani Mati
Keadaan yang demikian itu melahirkan semangat juang Rakyat, sehingga diantara “Kelompok 41” terdapat beberapa orang dengan sengaja masuk menjadi Pekerja Paksa atau Romusha menggantikan orang-orang penjara yang diromushakan. Mereka ini dikenal dengan sebutan Pasukan Siluman, karena terbukti mereka tidak mempan dibacok dan tidak tembus ditembak. Mereka itu adalah orang-orang yang mampu “terlepas” dari pemancungan para Algojo Dai Nippon.
Dibarengi dengan kebulatan tekad dan semangat juang yang luar biasa, mereka rela terbelenggu dipenjara demi membebaskan bangsa ini dari belenggu Dai Nippon, maka dengan taktik tersebut seakan-akan seluruh penjara Jawa dan Madura menjadi tempat latihan barisan berani mati.
Mereka ini merupakan bagian dari kekuatan perjuangan bangsa yang mempersiapkan diri ditengah-tengah penderitan dan himpitan penjara. Di masa itu, kelompok tersebut sering disebut sebagai pasukan setan atau siluman. Sebutan ini antara lain menjadi salah satu sandi perjuangan dalam perjuangan kemerdekaan / pertempuran melawan penjajah.

“Kelompok 41” dan Pembacaan Teks Proklamasi
“Kelompok 41” ini juga berperan sebagai pelopor-penghubung dalam proses pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan R.I., diawali dengan riwayat singkatnya, yaitu sekitar tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB Rombongan Proklamator, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, ibu Fatmawati dan putranya yang masih bayi yang bernama Guntur “terpaksa” meninggalkan Jakarta, dibawa dan dikawal ke Rengasdengklok. Rombongan Proklamator dapat kembali ke Jakarta pada Malam Jumat Legi, yang tiba tengah malam pukul 23.00. WIB. Bung Karno dan Ibu Fatmawati berserta bayi Guntur yang masih berumur 8 (delapan) bulan kembali ke rumahnya di jalan Pegangsaan Timur 56, sedangkan Bung Hatta di rumahnya dijalan Syowa Dori (Sekarang Jl. Diponegoro No. 57) Jakarta.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “penculikan terhadap proklamator” karena ketika itu Jepang berjanji memberi Kemerdekaan kepada bangsa Indonesia sebagai hadiah, mengingat Bung Karno diangkat oleh pihak Jepang sebagai Ketua Tyuu Gi Kai dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya, Namun janji hanya tinggal janji belaka. Maka tindakan “penculikan paksa” dilakukan, meskipun hal tersebut sangat berisiko.
Perasaan lega bercampur cemas meliputi benak-hati setiap anggota rombongan Proklamator dan para pejuang yang mengikuti serta mengawal pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan, karena suasana gawat dan genting, mengingat Penguasa Dai Nippon masih belum rela melepaskan Negara Indonesia untuk bebas dan merdeka, tetapi tekad untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan/kekejaman Dai Nippon sudah bulat, yaitu “Harus Merdeka”. Setelah sukses memuluskan proses pembacaan Proklamasi Kemerdekaan R.I., para pejuang termasuk pejuang yang tergabung dalam “kelompok 41” berpencar ke daerah-daerah sambil menyebarkan berita tentang kemerdekaan Bangsa Indonesia kepada seluruh rakyat sampai ke pelosok tanah air melalui media, baik radio, surat-surat khabar maupun pamplet-pamplet.

Bung Karno, Mr. BRM. Tjokrodiningrat dan Mr. R. Moestopo
Berkaitan dengan “Reclasseering”, yaitu sebelum Bung Karno memerintahkan Mr. R. Moestopo agar membuka dan membebaskan para tahanan atau orang-orang dalam penjara/tawanan perang diseluruh tanah air, karena hal ini dianggap sebagai potensi perjuangan Bangsa Indonesia. Mr. BRM. Tjokrodiningrat adalah seorang tokoh Reclasseering Indonesia yang terlebih dahulu telah memberikan advis / masukan dan mengusulkan kepada Bung Karno gagasan “Reclasseering” tersebut agar menjadi Reclasseering Republik Indonesia, advis yang pertama disampaikan pada tanggal 16 Agustus 1945 di Jakarta menjelang pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan RI dan kedua disampaikan setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 6 Juni 1946 di Yogyakarta yang bertujuan agar Reclasseering segera berbadan Hukum, sebab sebelumnya Reclasseering sebagai organisasi kekuatan perjuangan yang hanya berbekal “Saran / Perintah bersifat moral”.
Demikian juga gagasan ini muncul karena keprihatinan terhadap orang-orang yang dipenjara / para tawanan perang ditinjau dari sudut kepentingan Hukum dan Kemanusiaan (Untuk Mengangkat Harkat-Martabatnya sebagai Manusia), maksud lain dari usulan/advis tersebut ialah agar secara administratif “Reclasseering” memiliki status, yaitu menjadi “Reclasseering milik Bangsa Indonesia”.

BAB IV
RECLASSERING PASCA PROKLAMASI
KEMERDEKAAN R. I. SAMPAI MASA PERALIHAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DARI Ir. SOEKARNO KEPADA Mayjen TNI SOEHARTO

A. Situasi Negara Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Bahwa setelah Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta, yang dikenal dengan sebutan Bung Karno – Bung Hatta atau Dwi Tunggal atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur nomor 56 (Sekarang Jalan Proklamasi) Jakarta, tepat jam 10.00. (Pagi) WIB – hari Jumat Legi. Namun perkembangan dan situasi Negara dan Bangsa Indonesia saat itu, khususnya Jakarta berada dalam keadaan yang sangat genting. Sebab para Pimpinan tentara Jepang yang berada di Indonesia (Jakarta) masih belum rela melepas Indonesia untuk Merdeka. Hal itu dibuktikan dengan pelucutan senjata terhadap Pasukan PETA yang tadinya sangat kompak dan kuat. Sebab sebelumnya mereka turut ambil bagian di dalam proses persiapan Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

B. Lahirnya Reclassering Republik Indonesia
Tentunya dalam situasi seperti tersebut di atas, advis dan usulan Mr. BRM. Tjokrodiningrat segera mendapat sambutan positif dari Bung Karno, karena secara pribadi dan sebagai pejuang yang pernah dipenjarakan berkali-kali oleh Belanda, tahu persis keberadaan penjara dan memahami bahwa orang-orang penjara tersebut adalah salah satu potensi kekuatan perjuangan bangsa, sehingga bagaikan gayung bersambut, dinyatakan bahwa Reclasseering Republik Indonesia syah berdiri sejak tanggal 18 Agustus 1945 dan sehari setelah itu, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945 segera menjalankan dan melaksanakan Tugas Negara, yaitu membuka seluruh penjara, atas perintah dan instruksi Presiden R.I., Ir. Soekarno kepada Mr. R. Moetopo.

C. Tugas Pertama Reclasseering Republik Indonesia

Membuka Penjara-Penjara
Reclasseering telah menjadi Reclasseering Republik Indonesia dan secara resmi dapatlah dikatakan bahwa, satu hari setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, Organisasi Reclasseering telah menyatu secara terbuka dengan Organisasi-Organisasi Perjuangan lainnya. Demikian Mr. R. Moestopo melaksanakan perintah / instruksi Presiden Republik Indonesia Pertama, Ir. Soekarno supaya segera membuka seluruh penjara dan membebaskan Para Tawanan Perang yang berada diseluruh Indonesia, termasuk orang-orang tahanan dengan segala latarbelakangnya. Pasukan Penghancur Kapal Perang Perusak Milik Sekutu
Para tawanan perang dan orang-orang penjara yang dibebaskan ini segera diatur dan dikoordiner dalam satu wadah, yaitu Reclasseering Republik Indonesia (pada tahun 1946 mulai dikenal sebagai Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) karena secara pasti urusan orang-orang penjara/tahanan memang berkaitan dengan Badan Reclassering.
Wadah Reclasseering Republik Indonesia sedikitnya terdiri dari Pasukan Jibakutai dan bekas narapidana seumur hidup. Berdasarkan perintah dan instruksi Presiden tersebut, maka setiap tahanan atau orang-orang penjara yang mendapat hukuman seumur hidup, antara lain menjadi ujung tombak perlawanan perjuangan bangsa, khususnya dikirim sebagai Pasukan Penghancur Kapal Perang Perusak milik Sekutu yang berada di selat Madura.

D. Markas dan Sandi Perjuangan Reclasseering R.I.

Pimpinan Markas dan Penasihat Reclasseering R.I.
Pemimpin Markas Missi Reclassering Republik Indonesia saat itu adalah dibawah Komando Mr. R. Moestopo dan Tubagus Ibnu Fadjar G. P. dengan beberapa penasihat, pembina, pembimbing dan pemerhati Reclasseering, antara lain Ir. Soekarno, Prof. Abdul Madjid Djojo Adhiningrat, SH., Mr. BRM. Tjokrodiningrat, SH., termasuk Inspektur Poelisi Tk. I Jawa Timur Moehammad Jasin sebagai salah seorang pembina Pasukan Pertempuran Surabaya yang turut mempersiapkan peralatan dan persenjataan dalam pertempuran melawan “Usaha Penjajahan Kembali” di Surabaya.

Sandi Perjuangan Reclassering R.I.
Pasukan Jibakutai, Orang-orang penjara dan para tawanan perang (ditawan oleh Belanda dan Jepang) yang telah dilepaskan/dibebaskan sejak tanggal 19 Agustus 1945, selanjutnya mengejawantahkan dirinya dalam kelompok-kelompok perjuangan, secara khusus terbentuk di Jawa Timur, yaitu menjadi salah satu Pasukan Penggempur di Surabaya yang menggunakan Sandi Perjuangan kelaskaran antara lain dikenal dengan sebutan :
Pasukan Sriti ;
Pasukan Kerto Negoro ;
Pasukan Suropati ;
Pasukan Barisan Berani Mati ;
Pasukan Bom Berjiwa ;
Pasukan Walisongo ;
Pasukan Pendowo Limo ;
Pasukan Alap-Alap ;
Pasukan Panatas Angpe ;
Pasukan Sambar Nyawa ;
Pasukan Terate, dan
Pasukan Macan Putih.
Perjuangan Reclasseering Republik Indonesia ternyata oleh banyak kalangan belum memahami / mengetahui, karena di dalam pergerakannya menggunakan Sandi tertentu, maka istilah “Missi Reclassering R.I.” ketika itu tidak dikenal / populer.

E. Pejuangan Rakyat Mengalami Kevakuman

Pasukan PETA Dibubarkan
Sejarah membuktikan bahwa, sejak Proklamasi Kemerdekaan R.I. tanggal 17 Agustus l945 di Ibu Kota – Jakarta tidak ada satu kekuatan juang pun yang mengisi kevakuman akibat pembubaran tentara PETA oleh Jepang. Peristiwa ini sebagai tanda keprihatinan bagi kelangsungan Proklamasi 17 Agustus 1945, karena tadinya PETA dan Barisan Pelopor sebagai salah satu kekuatan handal dan pengawal Rombongan Proklamator ternyata telah membiarkan senjatanya dilucuti Jepang.

F. Surabaya Periode 18 Agustus 1945 s/d 10 Nopember 1945

Proklamasi Polisi Republik Indonesia
Perkembangan perjuangan Bangsa sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, terhitung sejak tanggal 18 Agustus 1945 seakan-akan beralih ke bagian timur pulau Jawa, tepatnya di kota Surabaya. Memang ternyata tidak ada kegiatan fisik atau aktifitas perjuangan pada saat-saat itu. Tetapi setelah para pemuda dan Rakyat Surabaya mendengar pemberitaan adanya Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta, maka semangat perjuangan Rakyat semakin bergelora. Adapun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan R.I. tersebut diketahuinya melalui Kantor Berita Antara yang menjadi atau bernama Yashima di zaman pendudukan Jepang, yaitu bagian Indonesia dari Kantor Berita Jepang, Domei.
Beberapa hari kemudian, semangat juang mulai terjadi di Surabaya yang berawal dari / dipelopori oleh Pasukan Poelisi Istimewa dengan keberanian yang tinggi melakukan tindakan proaktif turun ke jalan, empat hari setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I., tepatnya pada tanggal 21 Agustus 1945.
Langkahnya pasti, dan bersikap Patriotik bagi Republik Indonesia. Komando proaktif ini dibawah pimpinan Moehammad Jasin, ketika itu sebagai Inspektoer Poelisi Tk. I Jawa Timur.
Tentunya kehadiran Pasukan Poelisi Istimewa dijalan-jalan seputar Surabaya ini melahirkan semangat keberanian bagi rakyat yang saat itu sangat ketakutan terhadap pasukan Kempetai (Poelisi Militer Jepang) yang paling ditakuti.
Fakta membuktikan bahwa, pada tanggal 21 Agustus 1945 Inspektoer Poelisi Tingkat I Jawa Timur, Moehammad Jasin memproklamasikan Poelisi menjadi Polisi Republik Indonesia.

Awal Perjuangan Secara Fisik di Surabaya
Satu hari setelah Polisi menyatakan Proklamasi KepolisianR.I., barulah secara resmi terbentuk BKR yang bertujuan menghimpun seluruh potensi kekuatan perjuangan bangsa yang ada untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun kenyataannya bahwa, kegiatan perjuangan di Surabaya dinyatakan mulai terlihat untuk pertama kali, yaitu ketika para mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Surabaya menaikkan/mengibarkan bendera Merah Putih di Kantor Gubernur (Jepang) Jawa Timur pada tanggal 1 September 1945.

Peran Poelisi
Polisi Jawa Timur dibawah pimpinan Inspektoer Poelisi Moehammad Jasin memberikan propaganda positif dan mempengaruhi, menggerakkan serta mendorong seluruh potensi perjuangan rakyat yang peduli terhadap eksistensi Negara dan Bangsa Indonesia. Tindakan positif ini melahirkan Kekuatan Juang Rakyat yang luar biasa.
Hal ini membuktikan bahwa, Poelisi adalah pelopor perjuangan dan bagaikan “mesin penggerak” bagi para pejuang dalam melucuti senjata-senjata miliki tentara Jepang, sehingga hal ini merupakan suatu Kekuatan Juang Rakyat Bersenjata yang dibuktikan mampu memerangi Angkatan Perang Inggris saat itu.

Tewasnya Brigadier Jenderal Mallaby
Pasukan Perlawanan Rakyat Bersenjata yang terdiri antara lain, orang-orang penjara yang telah dilepaskan dan pasukan Jibakutai, mereka berada dalam wadah Missi Reclassering yang dipimpin oleh Mr. R. Moestopo, Tubagus Ibnu Fadjar G.P. ; kelompok juang yang berasal dari potensi Rakyat Surabaya dan potensi kekuatan rakyat lainnya, baik dalam kelompok juang yang dipimpin oleh Mr. Roeslan Abdulgani, Bung Tomo – Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, serta pelaku-pelaku 10 November 1945, seperti Mohamad Sidarto- Tentara Pelajar (terakhir berpangkat Jenderal TNI AD), Soengkono – terakhir Jenderal TNI, juga sebagai mantan Panglima KODAM Brawijaya dan lain-lain.
Polisi Jawa Timur yang dikenal dengan pasukan MOBRIG mempelopori gerakan perjuangan fisik di Surabaya ternyata perannya sangat dominan, sehingga perlawanan Rakyat Bersenjata terhadap tentara Sekutu pimpinan Inggris mampu dihadapi dengan gagah berani. Bahkan tanpa diketahui secara pasti siapa pelakunya, seorang perwira tinggi Inggris tewas / terbunuh, yaitu Brigjen Mallaby disela-sela peristiwa baku tembak yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 1945 di Surabaya.

Peristiwa Heroik “10 Nopember 1945”

Reclasseering R.I. Salah Satu Cikal-Bakal Perlawanan Rakyat
Para Tawanan Perang dimasa Penjajahan, Pasukan Jibakutai beserta orang-orang Penjara yang telah dibebaskan pada tanggal 19 Agustus 1945 tersebut, oleh Reclasseering Republik Indonesia telah berada dalam wadah “Missi Reclassering RI”, dan dipersenjatai oleh Pasukan Poelisi Istimewa Jawa Timur. Di sisi lain, Reclasseering Republik Indonesia adalah salah satu bagian dari Cikal-Bakal Perlawanan Rakyat Bersenjata atau dapat dikatakan sebagai salah satu dari kekuatan Juang Rakyat di Surabaya yang turut-serta melawan “Usaha Penjajahan Kembali” oleh pihak Kerajaan Belanda atau NICA. Fakta menunjukan bahwa, pada awalnya Sekutu bertujuan untuk menjadi Pasukan Perdamaian yang akan melucuti Persenjataan Tentara Jepang, namun kenyataannya kehadiran Sekutu Pimpinan Inggris tersebut telah diboncengi “Belanda” melalui pasukannya yang pernah lari ke Australia saat pendudukan Jepang, sehingga Sekutu yang bertujuan baik tersebut menjadi tidak murni lagi.

Petempuran di Surabaya Berlangsung Berhari-Hari
Demikianlah perlawanan Rakyat Indonesia tak dapat dielakkan lagi. Menurut fakta sejarah, perlawanan Rakyat Bersenjata di Jawa Timur, khususnya di kota Surabaya, berlangsung cukup panjang, yaitu berhari-hari terjadi peperangan dan sejak Peristiwa Pengibaran bendera Merah Putih oleh para Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Surabaya di Kantor Gubernur (Jepang) Jawa Timur pada tanggal 1(satu) September 1945 hingga mencapai puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945 yang dikenal dengan peristiwa “Heroik Surabaya”. Karena dahsyatnya pertempuran tersebut, maka korban kedua bela pihak tak bisa dihindarkan lagi. Korban berjatuhan, dibuktikan dengan banyaknya korban jiwa, baik dari pihak rakyat Indonesia, maupun pihak sekutu – tentara Inggris dan NICA.

Peran Bung Tomo
Fakta membuktikan bahwa, Bung Tomo adalah salah seorang tokoh perjuangan di Surabaya, baik sebagai Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, maupun berperan sebagai motivator semangat juang, yaitu membakar semangat Pasukan Perlawanan Rakyat Bersenjata melalui alat telekomunikasi / Radio. Dialah yang terus menerus berbicara/berkomunikasi dengan pernyataan – pernyataan dorongan semangat yang berapi-api menyatakan bahwa, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 mutlak dan penting dipertahankan. Pidato yang berapi-api, mengobarkan semangat juang melawan penjajah dengan pekikan “Merdeka atau Mati” dan “Maju Terus Pantang Mundur” dan pekikan-pekikan lainnya mendorong keberanian untuk berjuang.

Suara Kemerdekaan Indonesia Berkumandang
Suara Kemerdekaan secara terus menerus berkumandang, maka berita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tersebar ke seluruh penjuru tanah air dan terdengar sampai keluar negeri dan membuat seluruh dunia mengetahui, bahwa kemampuan Rakyat Indonesia dalam mempertahankan Kemerdekaannya sungguh gigih dan nyata.
Demikian dapat dikatakan bahwa, selain berkumandangnya suara kemerdekaan tersebut, kegigihan para pejuang juga ditunjang oleh kesempatan mendapatkan persenjataan. Kesempatan ini ternyata hanya melalui Polisi Jawa Timur, sebab ketika itu seluruh persenjataan dan gudang persenjataan serta gudang amunisi milik tentara Jepang telah dikuasai oleh Polisi, mulai dari senjata ringan, senjata berat sampai kendaraan lapis baja, termasuk tank-tank tempur.
Jelaslah bahwa, satu-satunya harapan para pejuang untuk mendapatkan peralatan/persenjataan ialah melalui pensenjataan yang telah dikuasai Pasukan Polisi dan hal itu terbukti !!
Sekali lagi ternyata rakyat bangsa Indonesia, khususnya di daerah Jawa Timur (kota Surabaya) telah mendapatkan persenjataan dan semangat juang. Sebab harapan persenjataan dari pasukan PETA yang tadinya memiliki senjata lengkap tak dapat dijadikan sandaran pasti, sebab tentara PETA telah membiarkan senjatanya dilucuti / dibubarkan Jepang.

G. Reclasseering R.I. Tahun 1946 S/D Tahun 1967

Terdaftar Pada Notaris
Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia memang tak dikenal dan tidak populer ketika itu, karena dalam perjuangannya menggunakan Sandi tertentu dan bergerak secara rahasia / terselubung.
Selama perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Reclasseering Republik Indonesia berpusat dan bermarkas Komando di Jawa Timur, Surabaya dan Malang sampai pada tanggal 17 Agustus Tahun l946 secara syah menjadi Organsiasi – Perkumpulan yang memiliki badan hukum atau Akta Notaris melalui Notaris Gusti Djohan yang beralamat di Jalan Merbabu Jogyakarta.
Demikian Reclasseering telah menjadi Reclasseering Republik Indonesia dengan akta Notaris – berbadan hukum secara resmi untuk dapat melakukan pekerjaaan-perkerjaan Reclasseering di Indonesia.

Menyumbang Emas kepada Negara
Krisis politik Bangsa pada awal Kemerdekaan terus terjadi, bukan saja karena adanya pertentangan secara elit politik yang bergerak secara fisik, tetapi krisis yang membawa dampak pada perekonomian juga. Kenyataan ini adalah salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia pada periode ini. Sehingga dalam keadaan pembenahan, baik untuk tatanan fisik atau pembangunan maupun tatanan keamanan, ketertiban dan kenyamanan, teristimewa mengenai perekonomian bangsa, maka demi negara dan bangsa, Reclassering Republik Indonesia turut serta untuk membangun bangsa dalam wujud menyumbangkan sebagian hartanya kepada Negara – Bank Indonesia berupa Emas Bubuk, pertama 40 (empat puluh) peti melalui Dr. Mohammad Hatta dan kedua 40 (empat puluh) peti lagi diberikan melalui Mr. Sjahrir. Hal ini berkaitan dengan Cadangan atau Beking Keuangan/Moneter Negara.

Sekilas Latarbelakang Uang Kertas “ORI”

Mencetak Uang “ORI” Atas Persetujuan KNI Pusat
Di antara persiapan dan pembenahan setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pemerintah untuk mencetak uang kertas, karena percetakan yang ditunjuk sebelumnya untuk mencetak Uang Kertas “ORI” mengalami kesulitan mendapatkan kertas, maka atas persetujuan K.N.I (Komite Nasional Indonesia) Pusat, menunjuk Organisasi Reclasseering Republik Indonesia untuk melakukan percetakan Uang Kertas “ORI”. Karena
diantara para Anggota K.N.I. Pusat mengetahui bahwa Tokoh Pemimpin Organisasi Reclasseering memiliki latarbelakang pendidikan yang memahami tehnik percetakan uang kertas.

Lokasi Percetakan Uang “ORI”
Fakta menunjukkan bahwa, bukan saja menyumbangkan Emas bagi Negara, tetapi dalam situasi dan kondisi Moneter/Keuangan Bangsa dan Negara saat itu, Reclassering R.I. mendapat kepercayaan Pemerintah R.I. untuk mencetak Uang Kertas Republik Indonesia. Sekalipun dalam keterbatasannya, Reclasseering R.I. mampu mencetak Uang Kertas tersebut. Adapun tempat mencetak Uang Kertas ini berlokasi di Turen – Malang, Jawa Timur.
Percetakan Uang Kertas ini tentunya tak lepas dari sistem dan mekanisme Moneter Negara, yaitu tetap mengindahkan cadangan emas sebagai salah satu standar atau rasio baku untuk Mencetak Uang Negara. Pada masa itu, Uang Kertas yang dicetak Reclasseering dikenal dengan sebutan Uang Kertas “ORI” atau Oeang Republik Indonesia atau Oeang Putih.

Sumber Kertas dan Tahun Pencetakan Uang “ORI”
Proses pembuatan atau percetakan Uang Kertas “ORI” berlangsung sejak tanggal 1 Oktober 1946. Masa ini terjadi dalam pemerintahan Kabinet Parlementer tahun 1946, dimana Mr. Soerahman menjabat sebagai Menteri Keuangan Negara Republik Indonesia. Bahan baku uang kertas yang digunakan untuk mencetak Uang “ORI” berasal dari kertas khusus simpanan Jepang yang disembunyikan di dalam gudang perlindungan bawah tanah yang letaknya dikaki gunung Arjuna dan gunung Penanggungan, Jawa Timur.

Politik Negara R.I. Dibalik Uang Kertas “ORI”
Dimasa Pemerintahan Republik Indonesia Pusat yang berkedudukan di Yogyakarta dinyatakan “Bubar”, disebabkan karena pucuk pimpinan Negara, yaitu Presiden Ir. Soekarno, Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta serta tokoh-tokoh Nasional seperti Ali Satroamidjojo, Mr. Sjahrir dan KH. Agus Salim ditawan oleh Belanda di Parapat dan Bangka. Hal ini pula berakibat hampir semua kota besar di wilayah Republik Indonesia dikuasai dan diduduki Pasukan Belanda dan NICA, maka eksistensi Bank Negara Indonesia (BNI) mengalami kesulitan / tidak berfungsi serta sirkulasi atau peredaran uang “ORI” (Oewang Repoeblik Indonesia) dalam masyarakat menjadi terganggu.

Perang Gerilya Total
Tentunya untuk mempertahankan daya jual – beli di masyarakat perlu melakukan cara dan taktik tertentu, sebagai jalan keluarnya, maka disepakati melalui “Cara Perang Gerilya”, dimana Pimpinan Reclasseering ketika itu merangkap sebagai Panglima Penggempur Istimewa sekaligus harus mengatasi Keuangan Negara. Ketika itu dinyatakanlah “Perang Total Politik Keuangan / Ekonomi” terhadap Belanda, sebab inilah satu-satunya cara untuk mempertahankan status dan keberadaan perekonomian, khususnya peredaran uang “ORI” di masyarakat.

Biaya Perang Gerilya Dari Uang “ORI”
Sekalipun Pemerintah Pusat (di Yogyakarta) telah dibubarkan, di daerah tetap dikuasai oleh kaum Gerilya yang disebut “Sentral Komando Perang Gerilya Total” dengan menggunakan biaya perangnya dari Uang Kertas yang dicetak sendiri di atas Klise yang terdapat di dalam bekas percetakan N.V. Nimef, Kendal Payak dan percetakan Tiong Hoa yang bernama Wi Kong atas perintah Menteri Urusan Daerah di Jawa Timur, Soewirjo pada tahun 1947.

Klise Uang Kertas “ORI” Tak Dapat Diselamatkan
Disaat-saat yang genting tersebut, Klise Uang ORI oleh percetakan tidak dapat diselamatkan dari penyerbuan tentara Belanda, maka di dalam melaksanakan Perang Gerilya dan pembiayaan perang, maka diusahakan mencetak kembali uang “ORI” di dalam percetakan swasta lainya dengan tujuan agar rakyat tetap memiliki semangat juang dan kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia.

Taktik Mempertahankan Perjuangan dan Kurs Rupiah “ORI”
Di samping itu, untuk mempertahankan Kurs Uang “ORI”, maka dilakukanlah beberapa macam Taktik Perjuangan, antara lain :
a. Melakukan Sabotase terhadap Peredaran Uang Kertas milik Nica Rekombe Federal, sehingga Kurs uang : 1 (satu) Rupiah ORI melawan 1 (satu) Golden.
b. Mengadakan Embargo diperbatasan daerah/kota pendudukan Belanda, yaitu setiap hasil bumi : rempah-rempah pertanian rakyat di pedalaman, Ternak dan Kulit bahan eksport dilarang masuk ke dalam kota.
c. Para pedagang yang biasanya berjualan di pasar-pasar diperkotaan dilarang masuk kota, sehingga pasar-pasar yang berada di Kota-Kota tempat pendudukan Belanda (Nica, Rekombe Federal) menjadi tak berfungsi / lumpuh total.
d. Sebagai pengganti Uang ORI yang rusak, maka dikeluarkan semacam Bon yang sama nilainya dengan uang kertas yang rusak dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan Pimpinan Perang dan Pemerintah Urusan Daerah.
e. Para Narapidana yang telah dilepaskan dari penjara, khususnya bagi mereka yang divonis hukuman seumur hidup diarahkan untuk mengerjakan peternakan / budidaya ternak, dan memelihara ulat sutera yang lokasinya jauh dari tempat pertempuran, yaitu di Komplex Perumahan Listrik Negara di Sengguro, Kepanjen – Malang. Hasil peternakan / budidaya ternak dan Ulat Sutera ini sebesar-besarnya untuk biaya Perang Gerilya Total, serta untuk memenuhi kebutuhan Rakyat.

Mengisi Kabinet Pemerintahan R.I.
Reclassering Republik Indonesia pada permulaan Sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia berkesempatan menjabat dalam pemerintahan, yaitu ketika diberi kepercayaan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mengisi Kabinet Pemerintahan Pertama, antara lain Mr. R. Moestopo, Mr. Amir Sjarifudin, Mr. A.A. Maramis, Dr. Latumena dan lain-lain. Hal ini merupakan salah satu wujud penghargaan Negara Republik Indonesia terhadap perjuangan Missi Reclassering.

Berperan Aktif Mempertahankan Negara Republik Indonesia

Melawan Agresi Belanda Pertama dan Kedua
Sekalipun perjuangan fisik mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan R.I. di tahun 1945 telah terlewati, namun sejak tahun 1946 sampai tahun 1950 Reclassering R.I. tetap berperan sebagai Salah Satu Kekuatan Perjuangan Bangsa terutama turut dalam pergolakan menentang Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dan Agresi Kedua tanggal 19 Desember 1948 serta Antek-Anteknya, baik di Tangerang, Bekasi dan Jakarta.

Turut-Serta Menumpas Pemberontakan PKI di Madiun
Demikian juga Reclasseering Republik Indonesia termasuk salah satu kekuatan bangsa yang turut beperan menumpas para pengkhianat Bangsa, bersama TNI, POLRI dan Rakyat menghadapi Pemberontakan PKI pimpinan Muso pada bulan September tahun 1948 di Madiun (meletus sekitar tanggal 18 September 1948). Muso dan pengikutnya yang setia melarikan diri ke selatan kota Madiun, tepatnya di kota Reog – Ponorogo dan rencananya akan menuju Pacitan, karena di sana telah ditunggu sekutunya menggunakan Kapal Selam. Tetapi karena pengejaran dan ketatnya penjagaan, maka ketika sedang membawa kendaraan dokar, Muso berpapasan dengan TNI yang sedang berpatroli dipinggiran kota Ponorogo ; kecurigaan bahwa yang membawa dokar itu adalah Muso, maka pengejaran dilakukan dan reaksi Muso lari dan bersembunyi di sebuah kakus milik warga setempat tepatnya di Desa Semanding, Kawedanan Somoroto (sekarang Kecamatan Somoroto), kira-kira 5 Km sebelah Barat Kota Ponorogo.
Muso – Pimpinan Pemberontakan PKI Madiun Mati Tertembak di Kota Reog – Ponorogo
Ketika situasi telah dikuasai dan dikendalikan Pasukan Gabungan, maka Muso terkepung dan tak bisa melarikan diri lagi. Sebelum mati tertembak, Muso masih sempat mengadakan perlawanan dengan berteriak : “Muso tidak pernah mati”, “Hidup PKI !”. Muso yang sangat keras pendiriannya dalam Partai Komunis Indonesia akhirnya tewas di Kota Reog – Ponorogo, Selatan Kota Madiun.

Markas Komando Reclasseering Pindah dari Sengguro ke Kota Malang
Setelah pergolakan dan perang gerilya terlewati dengan korban jiwa yang cukup banyak, maka pada tanggal 21 Januari 1950 kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Kontak Komando TNI mulai masuk Kota dan bersamaan dengan peristiwa ini, Markas Komando Reclasseering Republik Indonesia dari Sengguro berpindah ke kota Malang. Lokasi Markas Reclassering Republik Indonesia berhadapan dengan rumah penjara, yaitu di jalan Lowok Waru, Malang.

 

Mempersiapkan Pengurus LMR-RI di Jakarta
Ditengah-tengah situasi dan kondisi Bangsa dan Negara, serta demi kelangsungan dan kelanggengan perputaran roda organisasi, maka Markas Reclassering Republik Indonesia yang saat itu berkedudukan di Malang – Jawa Timur oleh Mr. R. Moestopo dan Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara beserta kawan-kawannya mempersiapkan Kepengurusan Reclassering di Jakarta, tepatnya pada hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke lima, yaitu pada tanggal 17 Agustus Tahun l950.
Pada tahun 1950, Reclassering Republik Indonesia pada awalnya terdiri dari Komposisi Kepengurusan, antara lain dipimpin oleh : Ketua Badan Pusat Reclassering, Ketua Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia dan Pusat Presidium Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia. Kemudian perkembangan selanjutnya, keberadaan Reclasseering Republik Indonesia disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan Bangsa dan Negara, khususnya bagi penegakan masalah-masalah Kemanusiaan – HAM dan pembelaan atau perlindungan Hukum.

Markas Komando Reclasseering Berpindah Dari Malang – Jawa Timur ke Ibu Kota – Jakarta
Reclasseering Republik Indonesia lahir dan bergerak dari Jakarta, namun karena situasi Negara dalam keadaan belum stabil ketika itu, maka kegiatan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia, seakan mulai dinyatakan di daerah Jawa Timur, yaitu Surabaya dan Malang; Sehingga eksistensi Organisasi dan untuk memulai kegiatan Reclasseering di ibu kota Negara – Jakarta, bisa terlaksana sekitar tahun 1950, terbukti dimana Pengurus Presidium Pusat Malang berhasil membentuk kepengurusan LMR-RI di Jakarta sebagaimana Struktur Kepengurusan Presidium Pusat sebagai berikut:

Pelindung : Kepala Negara (Ir. Soekarno)
Presidium Pusat : Prof. Dr. R. Moestopo Beragama
Ketua /Penanggungjawab Hukum : Tubagus Ibnu Fadjar G P.
Sekretaris Satu : Soehardjo
Sekretaris Dua : Ny. Soerjo
Bendahara Satu : Ny. Gusti Johan
Bendahara Dua : Ny. Soejudi
Pembantu Urusan Administrasi : Nn. Henny
Penasihat Hukum : Prof. Dr. Mr. Prajoedi,
Penasihat Hukum : Mr. Soejoedi, Mr. Soeprapto,
Penasihat Hukum : Mr.Katidjan, Mr. Soebagio.
Komisaris-Komisaris : Mr. BRM. Tjokrodiningrat, SH.
Mas Setia Taruna,
Ny. Dr. Soemali
Ibu Dar (Mortier), Handojo,
Hartono, dan Soebroto
Pengusaha : Soekandar, Nyoo Ong Ing
Nyoo Tjin The, Ny. Soedigdo
Security : Abdul Syukur, Pak Tar
Soebagio, Liong Kim Sek

Peranan dan Eksistensi Reclassering Republik Indonesia Setelah Berkedukan Di Ibu Kota Jakarta Raya

Tujuan Politis Wadah LMR-RI
Perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan serta perjuangan mengembalikan harkat-martabat Negara Kesatuan Republik Indonesia seakan telah terlewati dan Indonesia harus tetap utuh, sehingga untuk tetap menjaga keutuhan dan kesatuan Bangsa, LMR-RI menjadi wadah alternatif bagi para Perintis / Pejuang Kemerdekaan dan bekas tawanan atau orang-orang yang ditahan/bekas narapidana, sebab sejak berakhirnya pergolakan dan kedaulatan Negara kembali pada 29 Desember 1949 banyak di antara perintis dan pejuang tidak mendapat tempat dalam Pemerintahan R.I.

Mengorganisir Para Perintis / Pejuang Kemerdekaan
Atas inisiatif pimpinan dan penasihat LMR-RI, maka para perintis dan pejuang Kemerdekaan, para pejuang yang pernah ditawan atau mengalami pembuangan/pengasingan selama pergolakan diorganisir dalam wadah Reclasseering Republik Indonesia yang fungsinya hampir sama dengan posisi pemerintahan pada saat itu. Implementasi dari fungsi tersebut diwujudkan melalui gerakan pembangunan secara fisik. Fungsi ini bertujuan pula sebagai ujung tombak membangun kembali bangunan yang rusak akibat perang, seperti membangun Jembatan, Jalan Raya, Rel Kereta Api, Saluran Irigasi, Pasar, Gedung Pemerintahan, dan lain-lain. Konsentrasi Pemerintahan ketika itu terfokus pada pembenahan dan penyusunan kembali Pemerintahan Baru dari Struktur Pemerintahan Federal kembali kepada Struktur Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengorganisir Eks Tahanan / Residivis
Missi penting yang dijalankan Reclasseering ialah bergerak di bidang “Voorwaardelijk Invrijheidstelling” dan “Voorwaardelijk Veroordeeling’, serta memperluas pekerjaannya, antara lain membuka tempat penampungan, pemberian pekerjaan bagi orang-orang eks tahanan / residivis melalui pembinaan, penyuluhan dan bimbingan serta menyalurkannya ke beberapa tempat usaha, seperti Pembangunan Perkebunan yang rusak akibat Perang, pada industri-industri, Penggilingan Padi, Pabrik Ager, Galangan Perahu, Sol Sepatu, Penggergajian Kayu, dan lain-lain.
Peran pembinaan, penyuluhan dan bimbingan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI), khusus kepada eks Tahanan/Residivis ialah bertujuan untuk menghambat, mengurangi dan mencegah timbulnya tindak kriminal di dalam masyarakat, termasuk menyadarkan mereka agar tidak timbul rasa dendam kepada alat-alat/ abdi negara dalam penegakan Hukum, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim.

Tempat Aktifitas Presidium Pusat
Tercatat sebagai tempat aktifitas atau kegiatan dan hubungan kerja Presidium Pusat yang pernah digunakan selama di Jakarta terhitung sejak tahun 1950 sampai 1967, antara lain :
Pertama : di jalan Gajah Mada No. 185 Jakarta
Kedua : di jalan Nusantara No. 42 B Jakarta
Ketiga : di jalan Gunung Sahari No. 62 Jakarta,
Dan seterusnya berpindah-pindah tempat sesuai kebutuhan dan perkembangan organisasi. Secara khusus tempat tinggal Ketua Umum di jalan Gunung Batu Bogor dijadikan pusat pergerakan organisasi selain yang berada di kota Jakarta.

Menampung dan Membina Para Residivis
Pelaksanaan untuk menampung dan membina para Residivis serta melaksanakan pekerjaan Reclassering di ibu kota – Jakarta Raya telah dumulai sejak awal tahun 1950, target utamanya secara khusus ditujukan bagi mereka yang telah dan / atau dikeluarkan berdasarkan Ordonansi V.I. dan V.V (Pembebasan Bersyarat atau Pembebasan dengan Perjanjian), yaitu sebelum dikembalikan ke dalam masyarakat “mereka” di tampung dan dibina dalam Asrama Khusus di sebuah rumah di jalan Petojo Ilir No. 16 Jakarta Pusat.
Mereka yang telah “bebas” ini, dalam penampungan/rumah rehabilitasi dilayani / diurus dan diatur oleh Sdr. Zaimun Sani, Sdr. Handojo, Sdr. Herman dan Sdr. Soebagio, masing-masing sebagai Anggota Pengurus LMR-R.I. di Jakarta.

Bermitra Dengan Instansi-Instansi Negara R.I. :
Kepolisian, Militer, Kejaksaan Agung, dan Sipil (Lembaga Pemerintah seperti Kabinet Menteri, Imigrasi, Douane, GIA, dll.

Jaksa Agung Pada Mahkamah Agung
Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1952 memberikan Surat Edaran kepada semua Kepala Kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia. Isi surat edaran tersebut ialah mengenai anjuran membentuk organisasi-organisasi yang berhubungan dengan penampungan orang-orang penjara yang mendapat pelepasan bersyarat. Dalam surat edaran Jaksa Agung itu disarankan agar seluruh jajaran Kejaksaan sesegera mungkin memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk dapat membuka dan mendirikan “Perkumpulan-Perkumpulan Reclasseering”.
Pada hakikatnya pihak Kejaksaan Agung mengetahui secara pasti bahwa, Perkumpulan Reclasseering dapat membantu pihak Kejaksaan atau Pengurus Penjara dalam melaksanakan pembinaan dan bimbingan bagi siterhukum yang mendapat pelepasan bersyarat, ataupun Residivis guna membentuk mereka dalam kebenaran (ahlak – budi pekerti) serta untuk mengembalikan harkat-martabat mereka sebagaimana adanya. Dengan kata lain apabila siterhukum memperoleh “Pembebasan” dan harus diawasi diluar tembok penjara, maka Perkumpulan Reclasseering patut melakukan pembinaan, penyuluhan, bimbingan dan pengawasan bagi “mereka”. Langkah ini oleh pihak Kejaksaan Agung saat itu ialah memberdayakan pihak masyarakat yang peduli terhadap Pekerjaan Kemanusiaan atau yang diistilahkan “Inisiatif Partikelir” Mendirikan Perkumpulan Reclasseering.
Anjuran tersebut diberitahukan Kejaksaan Agung lewat surat edaran resmi yang ketika itu Penjabat Jaksa Agung adalah Soeprapto.

Kantor Besar Jawatan Kepenjaraan Kementerian Kehakiman Republik Indonesia
Beberapa bulan sebelum Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia menerima Surat Penetapan dari Menteri Kehakiman R.I., pihak Jawatan Kepenjaraan di Jakarta telah menyatakan dukunganya dengan memberikan surat edaran pada tanggal 22 Mei 1954 kepada seluruh Direktur / Pemimpin Kepenjaraan agar mengganti pegawai-pegawai Reclasseering untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan Reclasseering.

Demikian pula publikasinya kepada seluruh lapisan masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat yang peduli terhadap perkerjaan sosial. Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Ketua Lembaga Missi Reclasseering R.I., Tubagus Ibnu Fadjar Gunadi P. di Malang – Jawa Timur. Penjabat Kepala Jawatan Kepenjaraan atau Inspektur Pendidikan Paksa dan Reklassering ketika itu ialah Kartodarmodjo.

Markas Besar Gerakan Pembebasan Irian Barat
Dalam pergerakan perjuangan Bangsa dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentunya tidak lepas dari kepedulian terhadap eksistensi Bangsa dan Negara. Pada tahun 1954 Ketua Umum LMR-RI, Tubagus Ibnu Fadjar G.P. atas nama Organisasi dan perseorangan (sebagai warga negara) menerima panggilan Ibu Pertiwi untuk Bela Negara demi Pembebasan Irian Barat.
Markas Besar Pembebasan Irian Barat (GERPI) yang berkedudukan di jalan Mojopahit 27 K. 37 Jakarta, menunjuk dan memberi Mandat penuh kepada Tubagus Ibnu Fadjar G.P. untuk menjadi Anggota Pimpinan GERPI agar memobilisasi rekan-rekan seperjuangan serta organisasi-organisasi massa di seluruh Indonesia untuk berjuang mengembalikan Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi.
Demikian Surat Mandat nomor: 3/IB/M sebagai Anggota Pimpinan Pembebasan Irian Barat tersebut diberikan pada tanggal 21 Juli 1954 yang ditanda-tangani oleh Mangkudimuljo sebagai Ketua dan J.H. Hukom sebagai Sekretarisnya.

Kepolisian – Reserse Pusat dan Kejaksaan Agung
Peran Reclasseering sejak awal memang berkaitan dengan pembentukan kelakuan dan pembinaan orang-orang yang mendapat “pelepasan bersyarat” dari Penjara. Oleh karena itu, sejak awal pula Reclasseering R.I. selalu mengadakan hubungan kerja secara erat dengan aparat keamanan seluruh Jakarta Raya bersama Hoofd Biro Kepolisian di Gambir dan seksi-seksi keamanan yang ada di Tanjung Priok, Jati Baru (Tanah Abang) dan lain-lain.
Kepala Polisi Hoofd Biro Gambir saat itu, antara lain KOMBES Soedjono, KOMBES Sempu Muljono dan KOMBES Permadi. Sedangkan untuk tingkat Rahasia Negara dihubungkan dengan Kejaksaan Agung dan Dinas Reserse Pusat, sejak Jawatan Reserse dijabat oleh Sosrodanukusumo tahun 1950 – 1954, dan bapak R. Sunaryo, SH. menjabat sebagai Kepala Kejaksaan.

Membentuk Satuan Tugas Pengamanan Partikelir
Dalam kaitan tersebut di atas, Reclasseering R.I. membantu petugas, baik Kejaksaan, Kepolisian – Reserse dalam rangka mengantisipasi kontra subversi, kontra penyelundupan, dan sekaligus membentuk satuan Reclasseering sebagai “Informan” yang berhubungan secara terus menerus dengan pihak Reserse Pusat.
Tujuan utamanya ialah untuk membantu mengurangi gangguan keamanan yang berunsur tindak kriminal, seperti pengrusakan – Sabotase dan pencoleng dipelabuhan Pasar Ikan – Jakarta Kota, Tanjung Priok, Koja dan Sindang – Jakarta Utara.
Selama alat-alat Pemerintah Federal belum meninggalkan Kota Jakarta menuju Negeri Belanda atau ke Negeri Jajahannya yang lain, situasi Ibu Kota Jakarta mengalami gangguan keamanan. Di setiap sudut kota Jakarta terjadi pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah penduduk, peledakan granat terjadi dimana-mana. Masyarakat pengungsi yang masuk kota bertikai dengan penduduk yang pernah mengabdi kepada Pemerintah Federal Belanda.
Kenyataan bahwa alat-alat negara, seperti Kepolisian dan Corps Polisi Militer masih sangat sedikit yang dialihkan ke Ibu Kota Jakarta, sehingga untuk mengatasi masalah tersebut, pimpinan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia, seperti Prof. DR. Moestopo, Tubagus Ibnu Fadjar G.P., Drs. BRM. Tjokrodiningrat, SH., dan Hartono mengadakan kerjasama dengan pihak Kepolisian – Hoofd – Biro dan Corps Polisi Militer untuk menjaga kampung seluruh Jakarta Raya.
Untuk itu disusunlah Rayon-Rayon Penjagaan Keamanan Partikelir (Pengamanan Swakarsa) dengan 29 Rayon. Pengamanan Swakarsa atau Keamanan Partikelir ini dihimpun oleh K.M.K.B.D.R. Biro V dengan Koordinator yang dikepalai oleh Tubagus Ibnu Fadjar G.P. yang dikenal dengan nama “Pak Wangsah”. Demi memaximalkan pengamanan di kota Jakarta, Pak Wangsah bermitra dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti Pak Citra di Tanjung Priok, Pak Syawal di Pasar Ikan – Kota dan lain-lain, termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang berada di Sampur Boschower, Swensen di jl. Nusantara, Hermandatd, P.B.D, P.N.D, Jangkar, Kobra, PPPK, dan lain-lain.

Imigrasi, Douane dan GIA
Bersama-sama petugas terkait, Reclasseering R.I. bekerja-sama dengan pihak Imigrasi, Douane dan GIA melakukan pemantauan dan pengamatan di pelabuhan laut maupun udara. Sekaligus melaksanakan tugas menghalangi adanya penyelundupan barang-barang yang terlarang atau yang dapat menimbulkan instabilitas dan merugikan Negara.

Pemantauan dan Memroses Kontra Subversif
Dibidang Keselamatan Negara dan kontra Subversif Asing, bentuk A dan B, Lembaga Missi Reclassering Republik Indoensia bekerja-sama dengan pihak Kejaksaan. Ketika persoalan tersebut diproses yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaannya adalah R. Soenarjo. Adapun perkara subversif yang diproses saat itu antara lain kasus Westerling dengan APRA-nya (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, termasuk kasus pembantaian di Sulawesi Selatan dan kasus H.J. Smidsch dengan Gerakan N.I.G.O.-nya (Nederlandsch Indiesche Gerilla Organisation) di Bandung, Jawa Barat.

ITJENTEPRAL MABAD dan Kejaksaan Agung
Berkaitan dengan pelaksanaan Pemantauan terhadap kontra subversif, dalam hal ini LMR-RI bergabung dan kerja-sama dengan pihak Militer dan Pimpinan LMR-RI ketika itu bertepatan sedang dinas Militer di Jawa Barat, yaitu bapak R. Moestopo salah seorang pemimpin penyerangan terhadap Gerakan DI/TII Jawa Barat.
Dalam hal pengamatan yang berkaitan dengan tindakan kontra subversif tersebut, kemitraan Reclasseering R.I. dengan pihak Militer seperti dimaksud ialah dengan pihak IJENTEPRAL MABAD, antara lain – KKKB dimana yang menjabat sebagai Komandan pada masa-masa tersebut ialah Mayor TNI Sambas, Mayor TNI Djoehro dan Letnan Kolonel Dachjar.

Terbentuknya Komisariat Daerah (Tingkat Propinsi)
Seiring dengan pelaksanaan Bela Negara dan sesuai petunjuk dalam Anggaran Dasar LMR-RI, maka Organisasi dapat memperluas dan membuka cabang-cabang kegiatan Reclasseering di daerah-daerah dimana pun di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu setelah roda organisasi mulai berjalan lancar, para pimpinan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) memberikan kesempatan kepada seluruh Anggota untuk membuka perwakilan, baik Komisariat Daerah (KOMDA) maupun Komisariat Wilayah (KOMWIL), dan terbukti sekitar Tahun 1950-an, mulailah terbentuk KOMDA dan KOMWIL, antara lain:

1. Jawa Barat
Ditengah-tengah situasi daerah Jawa Barat yang berkecamuk pemberontakan Darul Islam Kartosuwirjo dan kegiatan Komando Pasukan Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling di Bandung. Di antara tugas dan Missi Reclasseering R.I. di wilayah ini, Mr. R. Moestopo berkesempatan membuka perwakilan/Komisariat Daerah Jawa Barat. Antara lain di Kota Bandung, untuk pertama kalinya sekretariat KOMDA JABAR berkantor di jalan KM. 23 – Hotel Preanger, Bandung. Posisi Hotel ini tidak jauh dari pusat Komando kegiatan Pasukan Ratu Adil.

2. Jawa Timur
Sekalipun KOMDA dan KOMWIL yang berada di Jawa Timur telah lahir terlebih dahulu, namun Perwakilan atau Komisariat LMR-RI tersebut diperkuat lagi dengan Registrasi Baru yang dilakukan Pimpinan LMR-RI di tahun 1950-an. Terbukti dengan berdirinya Organisasi ini di Jawa Timur, antara lain berkedudukan di Kota Malang dengan sekretariat di jalan Sawahan nomor 20 Malang ; Beserta KOMWIL-KOMWIL sebagai berikut
a. Pamekasan,
b. Bangkalan,
c. Banyuwangi,
d. Jember,
e. Bondowoso,
f. Probolinggo,
g. Pasuruan,
h. Surabaya,
i. Sidoardjo,
j. Modjokerto,
k. Jombang,
l. Kediri,
m. Madiun,
n. Ponorogo,
o. Ngawi,
p. Nganjuk,
q. Bojonegoro
r. dan Patjitan.

Penetapan & Keputusan Menteri Kehakiman RI
Perkembangan Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) dibidang Administrasi, secara khusus berkaitan dengan Pengesyahan Negara Republik Indonesia terhadap eksistensi Reclasseering R.I.. Proses administrasi ini dilaksanakan oleh Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara, seorang diantara tokoh Reclassering yang berjuang mempertahankan eksistensi Reclassering R.I.. Hal ini merupakan langkah positif, khususnya yang berhubungan dengan Yuridis Formil, sehingga terbentuk dan tersusunlah kepengurusan Reclassering pada tahun 1950.

Penetapan Menteri Kehakiman R.I. Tahun 1954
Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kehakiman menerima keberadaan Reclassering secara syah dengan memberikan Surat Penetapan Nomor: J.A.5/105/5 pada tanggal 12 Nopember tahun 1954 yang diumumkan dalam Lembaran Berita Negara no. 90 pada tanggal 31 Desember 1954 dan Tambahan Lembaran Berita Negara Nomor 105 tahun 1954 setelah terlebih dahulu pimpinan Reclasseering telah mengajukan Surat Permohonan kepada pihak Kementerian Kehakiman untuk dicatat dalam Lembaran Berita Negara pada tanggal 18 Nopember 1954 Nomor: 34834/KB/1954.

Surat Keputusan Menteri Kehakiman R.I. Tahun 1956
Satu tahun setelah pelaksanaan Pemilihan Umum pertama Republik Indonesia tahun 1955, yaitu tepatnya pada tahun 1956 Menteri Kehakiman RI menyatakan pengakuan dan mengukuhkan, Badan Reclassering di Jakarta sebagai Perkumpulan Reclassering yang syah melalui Surat Keputusan MenKeh Nomor J.H.7.1/6/2 tertanggal 9 Juni 1956.
Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut antara lain, mengatur tentang pelaksanaan pekerjaan Reclasseering berdasarkan Pasal 6 Ordonansi V.V staatsblad 1926 No. 487 dan Pasal 8 bis Ordonansi V.I. Staatsblad 1926 No. 488 yaitu Perkumpulan/Badan (Rechts-persoon) yang mendapat Keputusan Menteri Kehakiman yang berlaku di seluruh Indonesia, dan tanpa mengurangi pasal-pasal Hukum tentang Reclasseering. Demikian juga dinyatakan bahwa perkumpulan Reclasseering ini berdasarkan Pasal 1653 s/d 1665 KUHPerdata.

Bantuan Hukum di Luar & Dalam Pengadilan
Menurut Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tahun 1954 dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tahun 1956 tersebut, Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) adalah Badan Peserta Hukum untuk Negara dan Masyarakat – Bantuan Hukum Di luar dan Di dalam Pengadilan, sekaligus sebagai pelaksana urusan masalah-masalah kemanusiaan / kemasyarakatan atau tentang “Hak Azasi Manusia.”
Pelaksanaan Bantuan Hukum di luar dan di dalam Pengadilan seperti dimaksud dalam Surat Penetapan dan Surat Keputusan Menteri Kehakiman, sebesar-besarnya dilaksanakan untuk kepentingan Negara dan Masyarakat melalui mekanisme hukum yang berlaku, baik diminta maupun tidak – secara langsung maupun tak langsung.

Penasihat Hukum Sejak Berdirinya Presidium Pusat LMR-RI
Aktifitas pemberian kesadaran Hukum di masyarakat adalah bagian dari program awal berdirinya LMR-RI. yang bertolak dari penyuluhan tentang akibat pelanggaran Hukum, baik dalam urusan Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan. Tujuan dari gerakan penyuluhan Hukum ini ialah agar seluruh rakyat mengetahui dan memahami statusnya sebagai warga negara yang seharusnya taat kepada hukum, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum.
Sejak dibentuknya Presidium Pusat LMR-RI di Jakarta, maka penasihat dan ahli Hukumnya, antara lain :
1. Mr. Soeyudi
2. Mr. Soeprapto
3. Mr. Katidjan
4. Mr. Soebagyo
5. Prof. Dr. Mr. Prayoedi
Di samping kelima tokoh dan ahli Hukum tersebut, masih terdapat banyak lagi ahli-ahli hukum lain yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaan pekerjaan Reclasseering di Indonesia, termasuk tokoh/ahli Hukum yang masih tergolong muda ketika itu seperti Mr. BRM. Tjokrodiningrat, SH.

Pelaksanaan Bantuan dan Pembelaan Hukum
Selain pelayanan dibidang penampungan dan pembinaan para Residivis, maka kegiatan Pembelaan Hukum dan segala urusan yang berhubungan dengan tindak Pidana/Perdata dan semua perkara/upaya Hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan serta proses-proses yang berkaitan dengan hukum di Pengadilan Negeri, dijalankan oleh Prof. Mr. DR. BRM. Tjokrodiningrat, SH beserta Staff Bidang Pembelaan Hukum, seperti Mas Setia Taruna. Hal ini dilakukan sesuai pengaduan dan atau laporan yang masuk dari masyarakat yang berada di sekitar Jakarta Raya.

Latarbelakang Pembiayaan Anggaran Dasar, Administrasi Berita Negara, Kantor dan Peralatan Kantor
Buku Anggaran Dasar yang telah dinotariskan dan disetujui Menteri Kehakiman Republik Indonesia, perlu dicetak / diperbanyak dan secara administrasi, status LMR-RI didaftar dalam Lembaran Berita Negara di Percetakan Negara. Demikian juga untuk membiayai peralatan kantor dan asrama yang bermula di Petojo Hilir Nomor 16 Jakarta. Sebab, secara ekonomi (Anggaran Rumahtangga), LMR-RI memerlukan biaya-biaya untuk memenuhi kebutuhan Administrasi tersebut.

Menjual Cincin Emas Bermata Berlian
Proses tersebut di atas untuk pertama kali tentunya sangat penting, sehingga dalam rangka mengantisipasi pembiayaannya, maka pengurus LMR-RI mengusahakan Sumber Dana dan secara darurat menjual cincin emas bermata berlian milik anggota Pengurus, laku terjual seharga Rp. 150.000,- (Seratus lima Puluh Ribu Rupiah)

Mendirikan Usaha-Usaha yang Syah
Untuk menunjang pekerjaan Reclasseering, maka pengurus Presidium Pusat LMR-RI mendirikan beberapa Usaha, antara lain :
1. Usaha Export – Import, baik atas nama C.V. Karet Nasional, maupun Yayasan Mustika Negara Republik Indonesia (YAMUSNEGRI) dan P.T. Harta Pusaka.
2. Kontraktor – Pembuatan Pembangunan Persiapan Asian Games, Jalan Jakarta By-Pass dan Levering bahan bangunan untuk pembangunan pelabuhan Tanjung Priok dan Hotel Indonesia, tepatnya dua tahun sebelum Asian Games.
3. Mengimport Mobil untuk transportasi – Taxi menghadapi Asian Games sebanyak 400 Unit, bermacam-macam merek. Usaha import mobil ini terjadi sekitar tahun 1961.

Pancasila dan Lambang Negara
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan, maka sebagai landasan Kontitusional Negara ialah UUD 1945 yang dijiwai oleh PANCASILA, namun sebagian besar rakyat Indonesia berada dalam pengungsian, sehingga sejak kembalinya mereka dari pengungsian sekitar tahun 1950, Dasar Negara seakan terlupakan. Pancasila dan Lambang Negara – Burung Garuda belum sepenuhnya memasyarakat atau belum disosialisasikan.
Hal tersebut terjadi karena Jawatan Pemerintah Republik Indonesia, khususnya jawatan penerangan, baik di daerah maupun di Jakarta masih berada di dalam masa Penyusunan dan Pembenahan dari Pemerintah Federal beralih ke Pemerintah Republik Indonesia, sehingga perhatian terhadap hal-hal yang bersifat “sosialisasi”, seperti penyebarluasan pemahaman / pengenalan Pancasila dan Lambang Negara – Burung Garuda belum menjadi target utama.

Sosialisasi Pancasila
Di atas disebutkan bahwa, pada masa tersebut tentunya Pemerintah Republik Indonesia belum memusatkan untuk mensosialisasikan Pancasila dalam masyarakat Indonesia, sehingga atas inisiatif Pimpinan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia dan atas saran dari Penasihat Agung Presidium Pusat LMR-RI, maka disebarluaskanlah Lencana Pancasila dalam semua lapisan masyarakat.
Lencana Pancasila yang disebarluaskan berbentuk Segi Tiga dengan Dasar Tinta Emas dan bertuliskan : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Kebangsaan, Keadilan Sosial, dan Kedaulatan Rakyat ; dicetak dengan Tinta Hitam ditepinya dikelilingi gambar bintang-bintang yang bermaksud bahwa, Pengamalan dan Pengertian Jiwa Pancasila secara mendalam wajib diperingatkan oleh para pejuang, Rakyat dan Prajurit tanpa terkecuali, mulai dari Desa ke Kota, Tamtama sampai Jenderal berbintang satu atau berbintang seribu sekalipun, sehingga Sosialisasi ini melahirkan dan menciptakan Kesatuan antara RAKYAT dan PRAJURIT.
Sosialisasi Gambar Burung Garuda
Baik Pancasila maupun Gambar Burung Garuda mulai disebarkan / disosialisasikan. Penyebarannya secara tehnis berawal dari Jakarta – sekitar Istana Negara, dan rumah-rumah penduduk di Jakarta, seperti di Pasar Ikan, Tanjung Priok, Sindang, Cilincing, bahkan seluruh jajaran Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia yang berada diseluruh pelosok tanah air wajib menggunakan dan menyebarluaskan Pancasila dan Gambar Burung Garuda (Lambang Negara Republik Indonesia).
Peranan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) dalam mengimplementasikan “Bahasa Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, yaitu melalui Lencana Pancasila dan Gambar Burung Garuda. Secara umum pengenalan Gambar Burung Garuda dalam bentuk aslinya, yaitu “Burung Garuda Lepas”, seperti yang dikenal sekarang. Sedangkan LMR-RI secara khusus mensosialisasikan Gambar Burung Garuda tersebut dalam lingkaran berbentuk Oval berwarna kuning emas dengan latarbelakang Merah-Putih dan Bertuliskan “Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia” diseputar lingkaran Oval. Hal ini menunjukan bahwa, sejak Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia melakukan aktifitasnya sekitar tahun 1950-an, Garuda Pancasila telah dipakai dan digunakan sebagai Tanda dan Lambang LMR-RI, jauh sebelum KPU menggunakan lambang tersebut yang hampir mirip dengan lambang yang digunakan LMR-RI.

Presidium Kabinet AMPERA Republik Indonesia
Lembaga Missi Reclasseering R.I. dalam kiprahnya sebagai Lembaga perjuangan, senantiasa eksis di dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbukti ketika situasi negara menghadapi pergolakan dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 (G.30.S/PKI), peran positif LMR-RI dinyatakan dengan sumbangsih, baik pemikiran, tenaga ataupun semangat untuk memperkokoh Negara Proklamasi sesudah terbentuknya Kabinet AMPERA pada tahun 1966.
Dalam kaitan tersebut di atas, Presidium Kabinet AMPERA melalui suratnya tertanggal 13 September 1966 yang ditujukan kepada Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi di jalan Gunung Batu 467 Bogor dengan nomor : B-34/PresKab/S/66 yang ditanda-tangani oleh Sekretaris Presidium Kabinet, yaitu Kolonel CKH Sudharmono, SH menyatakan dan mengucapkan terima kasih kepada LMR-RI dalam peranya tersebut.

Lembaga Hukum & HAM Tertua di Indonesia
Selain peran-peran Bela Negara, Lembaga Missi Reclassering R.I. sebagai pelaksana masalah-masalah kemanusiaan berkaitan dengan semua jenis ketunaan maupun rehabilitasi sosial lainnya seperti membina, memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada para Napi mulai dari Lembaga Pemasyarakatan sampai yang bersangkutan kembali ke dalam kehidupan masyarakat, dibuktikan melalui pelaksanaan “Pelepasan semua tahanan/NAPI (yang ditahan pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang) pada tanggal 19 Agustus 1945”, selanjutnya melakukan kegiatan kemanusiaan bagi Para Tawanan Perang – mengadakan pertukaran tawanan perang antara Indonesia, Jepang, Belanda dan Inggris; serta menampung para ex tawanan perang, termasuk para cacat veteran dan keluarga korban perang masa tahun 1945 – 1950.
Berkaitan dengan peran aktifnya, LMR-RI juga turut berpartisipasi mencegah dan mengurangi segala bentuk tindak kejahatan, baik tindak kejahatan umum, kejahatan ekonomi (Korupsi dan atau Kolusi) maupun tindak kejahatan terhadap eksistensi Negara. Reclasseering sangat mementingkan Hak Azasi Kemanusiaan dalam arti kata, segala urusan yang berhubungan dengan harkat-martabat dan citra manusia menjadi prioritas; seperti dalam konsep “Setiap penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan” (terdapat dalam Pembukaan UUD 1945). Hal ini menunjukan bahwa Lembaga Missi Reclassering R.I.adalah Organisasi/Lembaga Hukum dan HAM tertua di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I.

BAB V
RECLASSEERING R.I. MASA ORDE BARU SAMPAI MASA REFORMASI REPUBLIK INDONESIA

A. Periode Tahun 1967 s/d Tahun 1980

Reclassering R.I. Seakan Terlupakan
Pada masa transisi Kepemimpinan Nasional dari Presiden Soekarno ke Mayjen Soeharto, organisasi Reclassering mendapat tantangan yang cukup berat, karena diperhadapkan dengan dua pilihan, yaitu tetap independen atau berpihak kepada Rezim yang dikenal dengan nama Orde Baru.
Masa ini Reclassering R.I. harus berhadapan dengan sistem Pemerintahan yang Otoriter (Rezim). Sejarah membuktikan bahwa segala urusan berorientasi pada kepentingan kekuasaan (Rezim) dan Kroninya, seakan-akan semua organisasi massa atau kegiatan masyarakat dan / atau Lembaga Kemanusiaan yang lahir pada masa Pemerintahan sebelumnya harus diganti dan perlu dicurigai, bahkan bila perlu harus “lenyap” dari bumi Indonesia dan tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang.
Terbukti pula bahwa, setiap organisasi yang memiliki massa pendudung haruslah seizin Kepala Negara (Rezim), termasuk dalam menentukan pucuk pimpinan atau Ketua Umum suatu Organisasi harus atas restu dari Orang Nomor Satu di Negara Republik Indonesia. Disadari atau tidak Lembaga Missi Reclassering R.I. dilupakan dan dimandulkan dengan/dan melalui sistem pemerintahan yang hanya menguntungkan pihak Kekuasaan (Rezim) dan Kroninya.
Kedudukan Reclasseering Republik Indonesia seolah-olah digeser secara perlahan, seperti tugas dan fungsi Reclasseering terhadap para Narapidana di setiap Lembaga Pemasyarakatan untuk pembinaan, penyuluhan dan proses pelepasan bersyarat “telah beralih secara total dari Reclasseering kepada Dirjen BISPA” yang diatur melalui Keppres atau Peraturan Pemerintah / Keputusan Menteri Kehakiman.

Bermitra Dengan LBH
Demikian keberadaan LMR-RI seperti digambarkan di atas, dimana perannya sebagai Lembaga Hukum dan HAM (Reclasseering) tetap dijalankan dan bekerja-sama dengan Advocat atau Pengacara, terutama dengan LBH “KRIS” yang bertepatan pimpinannya adalah salah seorang perintis dan pemerhati Reclasseering, yaitu Prof. DR. BRM. Tjokrodiningrat, SH yang berkedudukan di Ibu Kota – Jakarta (catatan: sampai kini kemitraaan ini tetap eksis, sebab pimpinan LBH “KRIS” sampai pada periode 1999 – 2003 sebagai Penasihat LMR-RI).

B. Periode Tahun 1981 s/d Tahun 1987

Reclasseering R.I. Tetap Berfungsi sebagai Advokasi Masyarakat
Pelaksanaan Reclasseering bagi masyarakat tetap dijalankan, sekalipun dalam keterbatasannya, LMR-RI senantiasa melakukan Bantuan dan Perlindungan Hukum bagi segenap masyarakat yang memang memerlukan Bantuan Hukum. Dalam kenyataan dan berdasarkan pemantauan dan laporan masyarakat yang diterima Lembaga Missi Reclasseering R.I. terdapat banyak diantara Rakyat tertindas dan terhempas; dimana hampir setiap tanah milik rakyat atau tanah milik negara yang sedang digarap rakyat “dirampas” dengan/dan atas nama Negara atau demi kepentingan umum dan kemudian di atas-namakan perorangan atau kroni-kroni kekuasaan.

Peran Reclasseering R.I. “Terkunci”
Peran Reclasseering R.I. seakan “terkunci” dalam segala kegiatan “Reclasseering”. Masyarakat yang berurusan dengan Hukum seakan-akan berhadapan dengan “Mafia Peradilan” yang merajarela di mana-mana, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung. Hampir setiap perkara pengadilan, penyelesaiannya sangat berlarut-larut dan memakan biaya yang cukup besar. Padahal untuk sebuah perkara yang diproses di pengadilan menurut KUHAP, khususnya Pasal 50 dan 56 beserta penjelasanya dinyatakan bahwa seharusnya proses peradilan bisa diselesaikan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (terjangkau). Tetapi yang terjadi kadangkala, Ibarat Api : “Siapa yang jauh ari Api akan Kedinginan”, jadi siapa yang jauh dari “Api Kekuasaan” akan kedinginan selamanya. Rakyat yang jauh dari “api kekuasaan” tersebut terus menerus kedinginan, bahkan “terhempas” oleh Badai Salju Keserakahan zaman.

Mitra Kerja Intelpam POLRI
Ditengah-tengah perjalanan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia di awal tahun 1981 mendapat tanggapan positif dari pihak Intel Pengamanan POLRI, oleh Asisten KAPOLRI Mayor Jenderal Pol. Soekartono. Tanggapan positif tersebut dibuktikan dengan :

Suratnya bernomor : R/4-5i/IV/81/SINTELPAM tertanggal 28 April 1981 yang ditujukan kepada Ketua Umum Presidium Pusat Lembaga Missi Reclasseering R.I. di Bogor.
Perihal pokok surat tersebut, antara lain menunjukan bahwa pihak POLRI dapat bekerjasama dengan baik dengan LMR-RI, khususnya dalam bidang pemantauan dan pengamatan terhadap segala indikasi tindak kriminal di masyarakat. Dalam hal ini LMR-RI dapat menginformasikan kepada pihak POLRI segala temuan yang berkaitan dengan pokok tersebut demi membantu terwujudnya rasa aman, rasa adil, rasa tentram dan rasa terlindungi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dugaan Peristiwa Sabotase Atas Ketua Umum LMR-RI
Sesuai perannya Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) mendapat kepercayaan masyarakat untuk membantu segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, terutama dalam memperjuangakan Hak-nya yang “dirampas” oleh pihak-pihak yang ”lebih kuat”, seperti mengurus permasalahan tanah atau rumah tinggal, misalnya masalah tanah di daerah Cengkareng Jakarta Barat. Sengketa bermula dari pembangunan Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, dimana menurut masyarakat pemilik tanah, di arealnya terkena Proyek Pembangunan Bandara, namun penggantian kerugian atas tanah mereka tidak sesuai dengan kesepakatan. Tentunya LMR-RI yang memang peduli terhadap kepentingan masyarakat kecil segera membantu masyarakat Cengkareng tersebut dalam upaya memperjuangkan nasib ganti rugi tanah sesuai harga dan kesepakatan.
Atas dukungan dan bantuan LMR-RI, maka harapan masyarakat ternyata dapat dikabulkan. Pihak Pelaksana Proyek Pembangunan Bandara dengan berat hati membayar ganti rugi sesuai kesepakatan semula, tetapi dibalik semuanya itu, terdapat “kemarahan” dari pihak “penguasa” yang mempunyai andil dalam proyek tersebut. Tantangan dari pihak-pihak yang merasa ”terganggu” atas bantuan hukum yang diberikan LMR-RI kepada masyarakat, tentunya dapat membawa dampak negatif atau dapat ”mengancam” keberadaan Organisasi, bahkan kehidupan setiap Anggotanya.
Sekitar tahun 1981, saat Ketua Umum LMR-RI, Tubagus Ibnu Fadjar G.P. beserta sekretaris dan sopir berangkat dari Jakarta menuju Sukabumi dengan mengendarai Mobil Pribadi Jenis Sedan, terjadilah kecelakaan dalam perjalanannya di jalan Raya Ciawi-Sukabumi, tepatnya di LIDO. Menurut data dan keterangan para saksi bahwa kecelakaan tersebut diduga sebagai Sabotase. Hal ini terlihat dari gambar kecelakaan Laka Lantas POLRES Bogor yang diambil di TKP (Tempat Kejadian Perkara). Peristiwa ini mengakibatkan sekretaris dan sopirnya meninggal dunia, sedangkan Tubagus Ibnu Fadjar G.P. terluka para yang mengakibatkan beliau mengalami cacat tubuh – berjalan tidak sempurna lagi.
Peran Ketua Umum Presidum Pusat LMR-RI Untuk Sementara di Mandatkan Kepada Drs. Jusuf Kilikili, SH
Sejak peristiwa kecelakaan tersebut, peran Bapak Tubagus Ibnu Fadjar G.P. sebagai Ketua Umum Presidium Pusat LMR-RI untuk sementara dimandatkan kepada Drs. Jusuf Kilikili, SH. Mandat ini hanya bersifat pelaksana harian, sedangkan untuk tehnis administrasi dan/atau status Kepemimpinan masih tetap dipegang langsung oleh Bapak Tubagus Ibnu Fadjar GP.

Tubagus Ibnu Fadjar GP.: Ketua Umum Presidium Pusat LMR-RI
Ketua Umum LMR-RI sejak melakukan aktifitasnya pada tahun 1945, tahun 1950-an dan secara resmi terdaftar dalam Kementerian Kehakiman R.I. terus aktif di tahun 1960-an sampai tahun 1980-an, harus melepaskan tongkat estafet Kepemimpinan kepada Generasi berikutnya.
Peristiwa yang cukup mengesankan dan mengharukan, karena sebagai Bapak Reclasseering Indonesia dan tokoh Pejuang Bangsa secara alamiah dan menurut kehendak Yang Maha Kuasa, yaitu Enam (6) tahun setelah peristiwa kecelakaannya, yang terhormat Bapak Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Poerwobelanegara meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Beliau meninggal dunia karena sakit yang dideritanya di Rumah Sakit PMI Bogor pada tahun 1987 di Bogor, Jawa Barat.

C. Periode Tahun 1987 s/d 1992 (1996)

Masa Peralihan Kepemimpinan Reclasseering dari Bapak Tubagus Ibnu Fadjar G.P. kepada Drs. Jusuf Kilikili, SH.
Berdasarkan fakta sejarah, sepeninggal Bapak Tubagus Ibnu Fadjar Gunadi Purwobelanegara selaku Ketua Umum LMR-RI pada tahun 1987 kepemimpinan dilanjutkan oleh saudara Drs. Jusuf Kilikili, SH. berserta kawan-kawan lainnya, seperti Yusdi Lukmansyah, Azis Unulola, Nafiri A. Sikome, SH., Achmad Lulang, dan lain-lain.
Beriringan dengan perjalanan Missi Reclasseering dalam kiprahnya turut menegakkan Hukum dan Keadilan di Tanah tercinta -Indonesia, tentunya beriringan pula proses perkembangan dan kemajuan Organisasi. Maka tepatnya empat (4) tahun setelah kepemimpinan dipegang oleh Drs. Jusuf Kilikili, SH, yaitu pada tahun 1991 Bapak Soetono Siswady ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina dan Kehormatan LMR-RI. Adapun proses penunjukan atau pengangkatan Ketua Dewan Pembina tersebut dilakukan langsung oleh Drs. Jusuf Kilikili, SH. atas nama seluruh jajaran Pimpinan Presidium Pusat LMR-RI.

Menyimpang Dari Tujuan Mulia Reclasseering R.I.
Semasa kepemimpinan periode ini, LMR-RI berjalan lepas dari ketentuan Anggaran Dasarnya, sehingga Missi Reclasseering yang seharusnya dilakukan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Para Anggotanya berjalan bukan berdasarkan sistem Organisasi sebagaimana dimaksud Anggaran Dasar. Demikian pula dengan Pembelaan dan Perlindungan Hukum yang seharusnya dilaksanakan LMR-RI, yaitu menjadi Advokasi Masyarakat kurang diperhatikan.
Keluhan masyarakat mengenai hal tersebut menyatakan bahwa, ada di antara Anggota-Anggota LMR-RI melakukan tindakan yang merugikan. Artinya telah terjadi penyimpangan dari maksud dan tujuan sebagai Lembaga pengayom masyarakat. Bahkan keberadaan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia yang sedemikian rupa itu tanpa sepengetahuan pimpinannya, sehingga LMR-RI yang memiliki “masa kejayaan – nama emas – nama baik di tahun 1945 sampai 1980-an” seakan ditelan lumpur keserakahan. LMR-RI ternyata telah dijadikan semacam “organisasi premanisme”.

Reformasi Dalam Tubuh LMR-RI
Pada tahun 1992 sampai tahun 1999, Reformasi dalam tubuh LMR-RI mulai dilaksanakan, karena hal tersebut adalah salah satu bagian dari perubahan untuk mengantisipasi kearah yang lebih positif, efektif, efisien dan lebih dewasa serta berdasarkan Anggaran Dasarnya, sehingga di dalam melaksanakan program – program Reclasseering, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang dapat mengimplementasikan Reclasseering kepada masyarakat secara baik, tepat dan benar.
Berkaitan dengan Kepemimpinan dan Mekanisme LMR-RI yang sesuai Anggaran Dasar, maka segala sesuatu yang dikerjakan dan diterapkan haruslah berporos pada pola yang benar, sistem yang terpadu dan program kerja yang jelas dan terarah serta tidak bertentangan dengan aturan / ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar Organisasi.

Saran Perintis/Pendiri dan Pemerhati Reclasseering
Perkembangan dan wujud organisasi seperti tersebut di atas mendorong agar segera kembali kepada maksud dan tujuan LMR-RI sejak awal berdirinya. Dapatlah dinyatakan bahwa, perbuatan/aktifitas yang telah mencoreng dan mencemarkan nama baik Lembaga Missi Reclasseering R.I. haruslah dihempaskan dari sistem Organisasi yang benar, sehingga atas saran Para Perintis/Pendiri Reclasseering Republik Indonesia, antara lain Jenderal TNI (Purn) Prof. DR. GPH. Tjokrodiningrat, SH., Ibu Prof. DR. R. Moestopo Beragama dan seorang tokoh/pemerhati Reclasseering, yaitu Komisaris Jenderal Polisi (Purn) DR. H. Moehammad Jasin, supaya LMR-RI segera melakukan pembaruan atau reformasi dalam tubuhnya.
Dengan demikian, secara perlahan tapi pasti, beberapa dari anggota LMR-RI yang peduli terhadap keberadaan LMR-RI antara lain saudara Jimmy Sairatu, SH., dan Soetono Siswady, Nanang, Robert, Nafiri A. Sikome, SH., Yusdi Lukmansyah, yang ketika itu masing-masing sebagai Anggota, Pengurus dan Ketua Dewan Pembina dan Kehormatan LMR-RI mengambil langkah antisipatif demi “Menyelamatkan Nama Baik” Reclasseering.

Sumbangsih Positif Drs. Jusuf Kilikili, SH
Berkaitan dengan Eksistensi LMR-RI, maka satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa saudara Drs. Jusuf Kilikili, SH adalah seorang tokoh Reclasseering yang berjasa membawa ”Bendera Reclasseering”, khususnya dimasa-masa sulit, dimana Organisasi ini berkali-kali mendapat tantangan dari pihak Birokrasi karena melakukan tugas Reclasseering yang menurut mereka, “Apa saja yang dilakukan Reclasseering” bertentangan dengan ”sistem dan mekanisme yang ada.” Sebagai contoh, Lambang LMR-RI dipermasalahkan oleh pihak Oknum Birokrat, namun dengan kegigihan Drs. Jusuf Kilikili, SH, Lambang LMR-RI yang berupa Gambar Garuda tersebut dapat dipertahankan.
Demikian pula tindakan penangkapan dan penahanan pihak Aparat seakan menjadi ”langganan” para Anggota, termasuk Ketuanya dengan tuduhan telah melanggar hukum. Padahal dalam rangka memperjuangkan dan membela hak-hak masyarakat.

Mengantisipasi Keprihatinan Dalam Tubuh LMR-RI
Pada 1992-1996, Ketua Dewan Pembina & Kehormatan LMR-RI, Soetono Siswady dan .Jimmy Sairatu, SH beserta rekannya yang lain memisahkan diri dari Kepengurusan. Sebagai wujud kepedulian dan keprihatinan, maka dilakukannya pembentukan pengurus yang diimplementasikan secara darurat pada 1994 (“status quo” selama empat tahun), sebab Pengesyahan Pengurus berlangsung pada 1 Januari 1996 di Jakarta dengan Susunan sebagai berikut :

Dewan Pendiri : Ibu Prof. DR. R. Moestopo

Dewan Pembina & Kehormatan
Ketua : DR. H. Moehammad Jasin.- Letjen Polisi (Purn)
Wkl. Ketua : D. Soedjadi Daryatmo, SH. – Letjen TNI (Purn)
Wkl. Ketua : Ir. Soepangkat- Mayjen TNI (Purn)
Wkl. Ketua : RM. Jono Hatmodjo- Mayjen TNI (Purn)
Wkl. Ketua : Dr. Soekadi H. Soetjipto, SH.-Kolonel TNI (Purn)

Dewan Pimpinan Harian
Ketua Presidium Pusat : Soetono Siswadi
Ketua I Presidium Pusat : H. Mansyur Acmad, SmHk.
Ketua II Presidium Pusat : Moch. H. Chotaman
Ketua III Presidium Pusat : Tommy Pitumorang, SH.
Ketua IV Presidium Pusat : R. Siswanto, SH.
Sekretaris Jenderal : Nafiri A. Sikome, SH
Wkl. Sekretaris Jenderal : Rusli Abdul Kadir, SH
Sekretariat : Soepomo, Letkol. TNI (Purn)
Bendahara : Ibu Isma Akil
Bendahara I : Ninik Triani

Berserta Staff dalam bidang-bidang pelaksanaan Reclasseering.
Namun pada 1 Pebruari tahun 1996, saudara Nafiri A. Sikome, SH. mengundurkan diri dari posisi sebagai Sekretaris Jenderal, sehingga secara otomatis digantikan oleh saudara Rusli Abdul Kadir, SH yang tadinya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal. Adapun pengangkatan dan pengesyahan Sdr. Rusli Abdul Kadir, SH sebagai Sekretaris Jenderal sesuai Surat Keputusan Ketua Presidium LMR-RI dengan Nomor 020/PRESPUS/LMR-RI/SK/II/1996 pada tanggal 17 Pebruari 1996.

BAB VI
RECLASSEERING R.I. MASA REFORMASI REPUBLIK INDONESIA

Dalam perjalanan Organisasi Tahun 1992 s/d tahun 1999 Kepemimpinan Bapak Soetono Siswadi sebagai Ketua Presidium berakhir pada tahun 1999, disebabkan beliau meninggal dunia karena sakit. Sehingga untuk mengisi posisi Ketua Presidium, maka para anggota Pengurus Presidium mengadakan Rapat Khusus pada bulan Oktober 1999.
Pada bulan Oktober 1999 atau Satu Tahun setelah terjadi Malapeka Nasional (bulan Mei 1998), LMR-RI mengadakan Rapat Khusus seperti disebut di atas untuk pemilihan dan penetapan Ketua Umum menggantikan Almarhum Soetono Siswady. Hasil Rapat tersebut menyetujui bahwa Ketua Umum LMR-RI adalah bapak Letnan Jenderal Polisi (Purn) Dr. H. Moehammad Jasin yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina dan Kehormatan LMR-RI.

A. Komposisi Kepengurusan Tahun 1999 sampai Tahun 2003
Berdasarkan hasil Rapat Khusus yang diadakan pada tanggal 5 Oktober 1999 di Jakarta tersebut, maka secara aklamasi dan dinyatakan syah oleh quorum Rapat bahwa, Ketua Dewan Pembina menjadi Ketua Presidium, yaitu Bapak Letnan Jenderal Polisi (Purn) DR. H. Moehammad Jasin. Istilah yang dipakai dan disyahkan untuk menyebut tingkatan Kepengurusan disesuaikan dengan Anggaran Rumah Tangga periode 2001 – 2005, dengan Susunan Pengurus sebagai berikut :

DEWAN PIMPINAN HARIAN
Ketua Umum : DR. H. Moehammad Jasin, SH. – Komisaris Jenderal Polisi (Purn)
Ketua Pelaksana Harian : DR. H. Rusli Abdul Kadir, SH.
Sekretaris : Ratna Dhamayanti (Pjs.)
Bendahara : Hj. Suryati
Penelitian dan Pengembangan Organisasi
Ketua : Sabrie Burhan
Wakil Ketua : DR. A. Hamid Hariantoni, SE.
Staff Ahli I : DR. H. Djamaluddin, HS, S.SP., SH.
Staff Ahli II : Kemas A. Agus, SH., LLM.
Staff Ahli III : M. Chair Latupono, SH.
Staff Ahli IV : Jakfar, SE., MM.
Staff Ahli V : Drs. Mukidjan Rio Supatmo, MSc.
Gugus Satuan Aksi Rcelasseering (GUSAR)
Ketua : Drs. J. L. Jhafar, MDiv.
Wakil Ketua : Handy Saputra
Divisi Hukum
Ketua : Efendy Hutapea, SH.
Wakil Ketua : Yustus Rumaketty, SH.
Divisi Hak Asasi Manusia
Ketua : Yusdi Lukmansyah
Wakil Ketua : IR. M.T.I. Doloksaribu
Divisi Usaha
Ketua : Drs. Muslim Mursalim, MSc.
Wakil Ketua : Dg. MS. Djufrie
Divisi Generasi Muda Pendidikan dan Pelatihan
Ketua : Chaidir Rusli
Wakil Ketua : Adi Atmanto
DEWAN PEMBINA DAN PENASEHAT
Ketua : Prof. DR. GPH. Tjokrodiningrat, SH. – Jenderal TNI (Purn)

Berserta Staff dalam divisi-divisi pelaksanaan Lembaga Reclasseering Indonesia.

B. Perjalanan LMR-RI Pada Era Indonesia Baru
Masa kepemimpinan Komisaris Jenderal Polisi (Purn) DR. H. Moehammad Jasin dan Rusli Abdul Kadir, SH. yang telah dimulai pada tahun 1999 menjelang Millenium Ketiga Abad XXI, Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia terlihat mengalami perkembangan ke dalam secara organisatoris, terutama berkaitan dengan Pola, Struktur, Program Kerja, Mekanisme, dan Manajemen. Dimana Lembaga Missi Reclassering RI tetap menjalankan Missi Pembelaan dan Perlindungan Hukum serta Pelaksanaan HAM – Reclassering dalam arti yang seluas-luasnya.
Pengejawantahan pelaksanaannya antara lain melakukan pengawasan, perlindungan, pembinaan dan penyuluhan Hukum untuk segala lapisan Masyarakat. Hal ini yang menjadi prioritas utama dalam mengimplementasikan Reclasseering sebagaimana diamanatkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga LMR-RI. Demikian Reclassering dalam pengertiannya mengangkat citra, mengembalikan harkat – martabat atau Hak Asasi Kemanusiaan yang merupakan bagian tugas pokok LMR-RI tahun dua ribuan Millenium Ketiga Abad XXI.
Dalam perjalanannya, Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia mengalami berbagai perubahan dan pembenahan, antara lain perubahan Istilah Presidium Pusat menjadi Komisariat Pusat dan perubahan dan pembenahan Struktur Kepemimpinan Nasional berdasarkan semangat Reklasseering atau pembetulan dan penjernihan.

** Istilah Presidium Pusat Menjadi Komisariat Pusat
Bahwa tanpa mengurangi arti dan keberadaan Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia secara mendasar, maka sejak bulan Mei 2001, Pengurus Pusat mengadakan pembenahan, khususnya berkaitan dengan istilah Presidium menjadi Komisariat atau selengkapnya Komisariat Pusat untuk Kepengurusan organisasi yang berada ditingkat Pusat. Hal tersebut sesuai dengan semangat Reclasseering, yaitu membenahi dan menjernihkan. Adapun pembenahan ini berdasarkan pada Pasal XII Anggaran Dasar LMR-RI.

** Struktur Kepemimpinan Nasional LMR-RI 2001 s/d 2005
Perubahan struktur kepemimpinan organisasi, khususnya ditingkat Komisariat Pusat dilakukan demi untuk kemajuan organisasi secara keseluruhan. Maka, setelah diadakan Rapat khusus Kepemimpinan LMR-RI pada tanggal 31 Maret dan 7 April 2001, disusunlah Kepemimpinan Komisariat Pusat melalui mekanisme.

C. Kedudukan Penasihat LMR-RI
Posisi Penasihat LMR-RI secara khusus tidak termasuk dalam struktur Pengurus Harian, walaupun fungsi dan perannya tidak kalah penting dibanding fungsionaris yang berada dalam jajaran Pengurus Harian. Namun Posisi Penasihat masih sangat perlu dalam Tubuh Organisasi LMR-RI. Apalagi Penasihat pada Era Indonesia Baru ini adalah seorang tokoh Reclasseering R.I. ditahun 1945. Karena itu, masukan / advis yang berkaitan dengan Reclasseering Republik Indonesia berdasarkan sejarah Bangsa, dimana posisi Organisasi diketahui persis oleh Penasihat Reclasseering yang hingga kini masih mampu menjabarkan peran-peran aktif Reclasseering di dalam Negara dan Masyarakat.

D. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumahtangga
Secara organisatoris Anggaran Dasar Lembaga Missi Reclassering RI telah diterima dan mendapatkan pengesahan Menteri Kehakiman RI., sedangkan Anggaran Rumahtangga dibuat dan disesuaikan sedemikian fleksibel berdasarkan situasi dan kondisi, yang berlaku untuk Komisariat Pusat, Komisariat Daerah, Komisariat Wilayah, Komisariat Kecamatan dan Komisariat Desa ataupun Pos LMR-RI, sehingga memungkinkan Lembaga Missi Reclassering R.I. mampu mengikuti Sistem dan Pola yang berkaitan dengan peranan Hukum, HAM Internasional dan Masalah-Masalah Kemasyarakatan pada umumnya. Adapun pengembangan lain yang bersifat Organisatoris yaitu posisi Fungsionaris dijabarkan dalam bentuk Divisi-Divisi. Setiap Divisi memuat Program jangka sedang dan jangka panjang, sedangkan untuk Program jangka pendek diatur secara mobilitas, namun tidak terlepas dari program pokok Divisi-Divisi.

E. Pembentukan Satuan Aksi Reklasering
Untuk memenuhi program jangka pendek, maka Reclasseering mengimplementasikan secara akurat dan fleksibel sesuai Pola dan Mekanisme Kerja seperti tersebut di atas dan dalam rangka menghadapi Arus Globalisasi, maka Ketua Umum Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) melalui Surat Keputusan Nomor: 001/SK/LMR-RI/KU/XI/1999 tertanggal 10 Nopember l999 membentuk Satuan Tugas Bela Negara Reclassering yang akan bergerak disegala bidang, baik menyangkut aspek Hukum, Reclasseering atau Hak Asasi Manusia maupun pembinaan dan penyuluhan NAPI atau Residivis.
Satuan Tugas ini selanjutnya mengalami perubahan struktur dan pola, yaitu menjadi Gugus Satuan Aksi Reklasering terhitung sejak tanggal 10 Nopember 2000 yang bersifat Independen – Non Militer, bergerak secara Mobilitas melalui Gerakan Simpatik dengan sandi GUSAR tanpa menonjolkan kekuatan massa yang menggunakan gaya Militer (Arogansi). Demikian pula kehadiran GUSAR dalam masyarakat bukanlah bersifat pengerahan massa semata.

Latar-belakang Pembentukan Satuan Aksi Reklasering

Politik, Sosial dan Ekonomi
GUSAR adalah suatu ide dan pemikiran yang lahir ditengah-tengah situasi dan kondisi Masyarakat dan Negara yang mengalami tekanan dan gejolak, baik ekonomi, sosial maupun politik sehingga melahirkan suatu perasaan gusar terhadap berbagai hal tersebut, seperti tatanan kehidupan yang menyangkut moral/mental maupun Perekonomian Bangsa yang menjadi morat-marit akibat ulah oknum Konglomerat, Pengusaha dan para Pejabat Negara yang menyelewengkan Keuangan Negara serta Elit Politik yang seakan mengguncang kehidupan Politik Negara dan Bangsa.

Maraknya Pengedaran NAZA
Pengedaran NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya) atau NARKOBA (Narkotika dan Obat Terlarang) yang melanda berbagai kalangan, baik Pemuda/Remaja maupun Anak Sekolah, termasuk adanya indikasi keterlibatan oknum-oknum aparat yang secara tidak langsung telah menjadi Pecandu, Bandar dan Pengedar Obat-obat terlarang tersebut, sehingga sesuatu yang pasti, lambat laun dapat merusak Generasi Penerus Bangsa.

Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Kejahatan dan tindakan kekerasan lainnya semakin merajalela. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Gerakan Separatis dan kegiatan merongrong eksistensi Negara, seperti halnya Gejolak diberbagai Daerah di Indonesia yang menuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan alasan mempersoalkan Pembagian Hasil Sumber Kekayaan Daerah antara Pusat dan Daerah yang menurutnya tidak adil.
Bermunculan di sana-sini gerakan pemecah-belah bangsa, para provokator menggunakan issu SARA dan issu-issu lainnya. Terjadinya kerusuhan di Maluku, Aceh, Ketapang, Kupang, Pontianak, Irian Jaya, NTB, khususnya dengan cara membakar/merusak Masjid, Gereja serta tempat ibadah lainnya.

Sandi Satuan Aksi Reclassering
Pemikiran menjadikan Satuan Aksi Reclassering R.I. berperan secara aktif dan terpadu dengan mencetuskan Ide GUSAR tersebut sebagai Sandi, karena Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia sangat peduli atas situasi dan kondisi Bangsa, Masyarakat dan Negara Indonesia.

Pencetus Sandi GUSAR
Ide dan Pemikiran menggunakan GUSAR sebagai sandi bagi Satuan Aksi Reclassering Republik Indonesia bermula dari pemikiran Bapak Sabrie Burhan (Direktur Ortala), J.L. Jhafar (Ketua Divisi Reclassering), Efendy Hutapea (Ketua Divisi Hukum), Muslim Mursalim (Ketua Divisi Pengembangan Usaha). Pencetusan sandi tersebut terjadi pada tanggal 5 Nopember l999, tepatnya pukul 10.00. wib di Gedung Pusat Reclassering Republik Indonesia Jakarta.

Pengertian Sandi GUSAR
Istilah “GUSAR” diambil dari situasi dan kondisi Masyarakat dan Negara yang sedang mengalami perasaan gusar terhadap tingkah laku para Elit Politik, Para Konglomerat, Para Pejabat Negara. Demikian pula perasaan Gusar tersebut menjadikan para pelaku penyelewengan uang negara dan para pelaku tindak kejahatan menjadi gusar karena perbuatannya digugat negara dan masyarakat.
Bertolak dari istilah GUSAR, maka sangatlah relevan jika istilah tersebut dijadikan sandi bagi Satuan Aksi dengan pengertian sebagai singkatan dari Gugus Satuan Aksi Reclassering.
Adapun Gugus Satuan Aksi Reclasseering (GUSAR) terdiri dari : Satuan Alfa, Satuan Beta, Satuan Gama dan Satuan Delta.

Tujuan Pembentukan Satuan Aksi Reclasseering
Pembentukan Satuan Aksi Reclasseering (GUSAR), sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa pembentukannya bukanlah hanya sekedar hadir atau terdaftar, seperti dalam deretan Satuan Tugas yang ada atau hanya bersifat bersaing dengan Satuan-Satuan Tugas, tetapi tujuannya ialah berawal dari konsep terpadu dengan poros Aksi Kemanusiaan yaitu untuk menciptakan Rasa Aman, Adil, Tentram, Damai dan Rasa Terlindungi (Security Feeling) dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

G. Bermitra dan Bekerjasama dengan Instansi Terkait
Gugus Satuan Aksi Reclasseering (GUSAR), dikoordinasikan dengan pihak Intansi-Instansi / Lembaga-Lembaga Negara, seperti BPK, BPKP, Departemen Keuangan, Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Bea & Cukai, Kejaksaan Agung, Badan-Badan Intelijen Negara, Direktorat BIMMAS dan Direktorat Reserse POLRI, maupun Pusat Polisi Militer (PUSPOM) serta Badan-Badan atau Institusi Negara lainnya atau swasta yang berkaitan langsung atau tak langsung dengan pekerjaan dan pelaksanaan Reclasseering dalam Masyarakat dan Negara Republik Indonesia.

BAB VII
PIMPINAN LEMBAGA MISSI RECLASSERING REPUBLIK INDONESIA DARI MASA KE MASA

Periode Tahun 1945 sampai Tahun 1950
Komandan Markas
Prof. Dr. R. Moestopo

Komando Pelaksana
Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara
Gusti Djohan – Notaris
Ibu L.K.J, Kotot Sukardi, dkk.

Periode tahun 1950 s/d tahun 1975
Dewan Penasihat Agung
Prof. Dr. R. Moestopo
Ketua
Tubagus Ibnu Fadjar Goenadi Purwobelanegara

Sekretaris
R. Ng. Siswo

Pembelaan/Bantuan Hukum
Prof. Dr. BRM. Tjokrodiningrat, SH
M. Setia Taruna
Prof. Dr. Mr. Prajoedi

Periode tahun 1976 s/d tahun 1987
Dewan Penasihat Agung
Posisi Vacum
Ketua
Tubagus Ibnu Fadjar G.P.

Pembelaan/Bantuan Hukum
Drs. Jusuf Kilikili, SH
Yusdi Lukmansyah, dkk

Periode Tahun 1987 sampai Tahun 1992
Ketua
Drs. Jusuf Kilikili, SH

Sekretaris Jenderal
Nafiri A. Sikome, SH
Beserta Staff dan Tim Pembelaan Hukum

Dewan Pembina (Sejak Tahun 1991-1992)
Kolonel TNI (Purn) T. Soetono Siswady

Periode tahun 1992 sampai Tahun 1994
Masa Transisi – Reformasi LMR-RI

Ketua
Kolonel TNI (Purn) T. Soetono Siswady

Sekretaris Jenderal
Nafiri A. Sikome, SH
Beserta Staff dan Tim Pembelaan Hukum

Periode tahun 1994 s/d tahun 1998
Dewan Pembina
Letjen Pol. (Purn) DR. H. Moehammad Jasin

Ketua
Kolonel TNI (Purn) T. Soetono Siswady

Sekretaris Jenderal
(Mengundurkan diri Awal 1996)
Nafiri A. Sikome, SH

Wakil Sekretaris Jenderal
(Diangkat sebagai Sekjen 17 Pebruari 1996)
Rusli Abdul Kadir, SH
Beserta Staff dan Tim Pembelaan Hukum

Periode tahun 1998 s/d tahun 1999
Kepengurusan Masa Transisi
Pelaksana Harian
Rusli Abdul Kadir, SH.selaku Sekretaris Jenderal
Beserta Staf Pelaksana
Dan Tim Pembelaan Hukum

Periode tahun 1999 s/d 2003 (2001 S/D 2005)
Penasihat
Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. GPH. Tjokrodiningrat, SH

Ketua Umum
Komisaris Jenderal Pol (Purn) DR. H. Moehammad Jasin

Ketua Harian
Rusli Abdul Kadir, SH
Beserta Ketua-Ketua Divisi/Bagian
Staf Pelaksana
Dan Tim Pembelaan Hukum

MOTTO

LEMBAGA  MISSI RECLASSERING REPUBLIK INDONESIA (LMR-RI)

“ UNTUK NEGARA & MASYARAKAT “

Berdasarkan:
Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI
Nomor J.A.5/105/5 Tanggal 12 Nopember 1954
Lembaran Berita Negara Nomor 90 Tahun 1954
Tambahan Lembaran Berita Negara Nomor 105
Tanggal 31 Desember 1954
Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI
Nomor J.H.7.1/6/2 Tanggal 9 Juni 1956

Badan Peserta Hukum Untuk Negara & Masyarakat
Badan Reclasseering Untuk Negara & Masyarakat
Bantuan Hukum Di Luar & Dalam Pengadilan

BADAN PENGEMBALIAN HARKAT – MARTABAT MANUSIABADAN ADVOKASI MASYARAKAT
SEJAK 1931

LEMBAGA MISSI RECLASSEERING REPUBLIK INDONESIA (LMR-RI) adalah Institusi Kemanusiaan bersifat Profesional, Independen dan Non Politik yang bergerak dalam bidang pengembalian harkat martabat manusia melalui Penegakan dan Perlindungan HUKUM terhadap HAK ASASI MANUSIA serta meningkatkan mutu SDM rakyat Indonesia dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya (national character building).

Lembaga ini eksis di Indonesia sejak tahun 1931 yang diorganize oleh Prof. Mr. Djojo Adhi Diningrat, dkk dalam upaya persiapan kemerdekaan dengan konsep “Reclasseering Indonesia” dan mendampingi proklamasi 17 Agustus 1945 dengan berdiri pada 18 agustus 1945 dengan nama LEMBAGA MISSI RECLASSEERING REPUBLIK INDONESIA(LMR-RI) sesuai anjuran dari Prof. DR. GPH. Tjokrodiningrat,SH kepada IR. Soekarno sebagai Presiden RI Pertama saat itu dan kemudian Presiden memerintahkan kepada Prof. DR. R. Moestopo Beragama, Tubagus Ibnu Fadjar Gunadi dkk. untuk membentuk sebuah Lembaga yang mengemban Missi dari reclasseering atau pengembalian Harkat dan Martabat Manusia atau Hak Asasi Manusia.

PANDUAN PEMERHATI RECLASSEERING

Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) adalah suatu Lembaga Hukum dan Reclassering yang mengemban tugas-tugas Kemanusiaan, baik menyangkut aspek Pembelaan Hukum, Rehabilitasi segala Ketunaan, maupun aspek Perlindungan dan Menciptakan Rasa Aman (Security Feeling) bagi kehidupan Masyarakat dan kelangsungan Negara.
Hal-hal tersebut dituangkan penulis dalam buku ini, agar para anggota atau masyarakat luas memahami perjuangan Reclassering sejak awal melaksanakan pekerjaan Kemanusiaan di Republik Indonesia. Penulis juga memaparkan keberadaan LMR-RI, sejak dalam kandungan perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai kelahirannya, Masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai pada perannya di abad XXI Millenium Ketiga ini. Karena itu, edisi revisi ini penjabaran bertitik tolak dari Reclasseering Pra Proklamasi Kemerdekaan RI, Peranan dalam Perjuangan Kemerdekaan, Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI dan perannya pada Masa Kini yang diberi judul “Lintasan Sejarah Reklasering”
Semoga melalui penulisan ini, setiap warga masyarakat, khususnya anggota LMR-RI di seluruh Indonesia dapat mengambil Hikmah dan sebagai Cermin/Panutan bagi perjuangan pelaksanaan Reclassering dalam bermasyarakat dan bernegara.

Jakarta, M e i 2001

Ttd.

(DR. H. MOEHAMMAD JASIN)
Komisaris Jenderal Polisi (Purn)

Periode tahun 2005 s/d tahun 2007

09 September 2005 Pengesahan Ketua Umum Presidium Pusat
LMRRI Tubagus Nanang Azhar dan Achmad
Lulang, SmHK sebagai Sekretaris Jenderal
melalui Akta No. l1 Notaris Kasir, SH di Jakarta.
Pembentukan Susunan Badan Pengurus LMRRI
periode tahun 2005-2007.

Periode tahun 2007 s/d tahun 2013

27/28 Maret 2007 Hasil Munas Di Taman Rekreasi Wiladatika
Cibubur Jakarta Timur saat ini Pengurus
terpilih Ketua Umum Presidium Pusat adalah
Bapak Agustinus L kilikily, SH dan
Ir.Mohammad Dahlan Foudubuan sebagai
Seketaris Jenderal.

Periode tahun 2013 s/d tahun 2018

5/6 Oktober 2013 Hasil munas II di Taman Mini Indonesia Indah
Jakarta di Anjungan Rumah Adat Papua Bapak
Agustinus L.Kilikily, SH, dan Ir. Mohammad
Dahlan Foudubuan sebagai Sekretaris
Jenderal kembali terpilih untuk memimpin
LMR-RI.

Ikhtisar latar belakang kronologi ini dibuat sesuai dengan
bukti-bukti othentik mengenai perjalanan lintasan sejarah
LMR-RI dari masa ke masa secara garis besar. Apabila ada suatu
peristiwa yang belum termuat dalam Ikhtisar ini semata-
mata hanya rutinitas kinerja LMR-RI yang bisa dibuktikan
kebenarannya.

Arsip Presidium Pusat Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia
(LMR-RI)

Susunan Dan Komposisi Fungsionoris Presidium Pusat LMR – RI Periode 2013 – 2018

E. DEWAN PENASEHAT LMR-RI

Ketua
Prof. Dr. S. Budhisantoso
Wakil ketua
Prof. Dr. Dimyati Hartono
Wakil ketua
Prof. Dr. Valerin Krikhof
Sekretaris
D.I. Silalahi, SH. MH.

Anggota

1. Ny. O. Kilikily/ Boway
2. Prof. DR. Aminudin Noor, SH
3. Wem C. Locn
4. Prof. Dr. Andi Hamzah, SH
5. H. Abdullah Wachdin bin Basyarahil
6. Pandang (Puang Nojeng)
7. Hadi Hartanto, SH
8. Nurdin Latarisa, SH
9. Soekarno (Nano)
10. Abdul Khair, SH. MH
11. Hercules Rasario Marshal
12. Marghinus Atalauw M. Lakona
13. Ustadz Abdul Azis
14. Nikholas Azis Laa

15. Laurents
16. Yopi Rumaketty

F. DEWAN PEMBINA LMR-RI

Ketua
Brigjen TNI (Purn) Drs. Daryoto, SH
Wakil ketua
Kombes Pol (Purn) Drs. James Umbo
Wakil ketua
Kol. TNI (Purn) Rukimin, SH
Sekretaris
Drs. Iday Setiadharma

Anggota

1. H. Abd. Rasyid
2. GPH. Harry Suryo
3. Dr. Syahnan Phalipi, SH. SE. MM
4. Izak Zulkarnain, SH
5. H. Ka’ab Yitzak Pattipawae
6. Eko Priyono
7. H. Tubagus Atik Kosasih, SE
8. H. Syaiful
9. Marudut Siregar, SH. MH
10. Ir. R. Indratno
11. Drs. Abednego, T. P. SE, MBA, MAK
12. Bunda Ratu Yeni Maliana
13. Arifin
14. Pdt. Fredy Tuela
15. H. Abu (Caca)
16. Eman
17. Yohanes Kifta

Komposisi Fungsionoris Presidium Pusat LMR – RI

Ketua Umum : Agustinus L. Kilikily, SH
1. Bertugas sebagai penanggung jawab kegiatan Harian Organisasi.
2. Bertanggung jawab melaksanakan amanah Organisasi sesuai dengan AD/ART dan Amanah Organisasi lainnya.

Ketua I : Drs. P. Etalo, MA
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya
masing – masing
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Organisasi Keanggotaan & Kadernisasi (OKK) dan Intelijen Masyarakat.

Ketua II : Ir. Irwansyah Hasibuan
1. Bertugas, menyelesaikan,mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya
masing – masing
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum

3. Mengkoordinir Kompartemen Reclasseering & Laskar

Ketua III : Ir.Jumadi Dudi
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya
masing – masing.
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Bantuan Hukum & Pertanahan

Ketua IV : Drs. Rudy M Saragi
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing.
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Informasi & Komunikasi dan Kompartemen Perdagangan & Perindustrian.

Ketua V : Ratna Dewi, SH. MH
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing -masing.
2. Berkewajiban empertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak dan Wirausaha & Tenaga kerja.

Ketua VI : Ir. Idham Jaya Gafar
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing -masing.
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Investigasi & Monitoring.

Ketua VII : Gerard Joost Tewuh, SE, SH, MSi
1. Bertugas, menyelesaikan, mengkoordinir dan memeriksa kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnya masing – masing.
2. Berkewajiban mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi sesuai dengan bidangnyamasing – masing kepada Ketua Umum
3. Mengkoordinir Kompartemen Kerohanian & Pembinaan Mental Spiritual.

Sekretaris Jenderal : Ir. Moh. Dahlan Foudubun
1. Bertugas melaksanakan, mengkoordinir dan memeriksa Administrasi dan Kesekretariatan Organisasi yang bersifat umum
2. Menjaga barang – barang inventaris

Sekretaris I : Suryadi, SH
1. Membantu tugas – tugas Sekretaris Jenderal

Sekretaris II : Herry Tjahyadi, SH
1. Membantu tugas – tugas Sekretaris Jenderal

Bendahara Umum : Ibrahim, SE
1. Bertugas menyelesaikan dan memeriksa Keuangan Organisasi
2. Berkewajiban mempertanggung jawabkan keuangan kepada Ketua Umum

Bendahara I : Tabitha Henny
1. Membantu Tugas – tugas Bendahara Umum

Bendahara II : Salwiyah
1. Membantu Tugas – tugas Bendahara Umum

Kompartemen – Kompartemen

I. Organisasi, Keanggotaan & Kaderisasi :

  1. Hendri Kilikily
  2. Rita Wana
  3. Sugianto Alexander Marantika

II. Intelijen Masyarakat :

  1. Kartoni Jappi Lapian, S. Sos
  2. Donny Kilikily
  3. Achmad Azizi
  4. Joko Purnomo (Dg. Yos)
  5. Unggul Dirgantoro
  6. Edy Setiawan
  7. Sutrisno
  8. Bahardinata
  9. Abdul Choir

III. Reclasseering :

  1. M.T. Cahyadi Ho, S. Kom, SH, MHum
  2. Lingga Favo
  3. Yonathan, SH
  4. Alex Tewuh
  5. Andre Ririhena

IV. Laskar :

  1. Edy Turangga
  2. Dayat
  3. H. Mat Ali
  4. H. Syamsury
  5. Emde
  6. Hasan
  7. Ampi
  8. Manu
  9. Cecep Boma
  10. David Suryamingga
  11. Nunung

V. Bantuan Hukum :

  1. Andy Siswanto, SH
  2. Bangun Hutauruk, SH
  3. Irvan VVH Butar – Butar, SH
  1. Bidang Litigasi :

Pidana :

  1. Bastian Hasan, SH
  2. Dede Haryadi, SH
  3. Yosef L. Koten, SH
  4. Onggan J.S. Napitu, SH
  5. Rudolf Silalahi, SH
  6. Hendrik MS. Sunardi, SH
  7. Andi Walinga, SH

Perdata :

  1. Bastian Hasan, SH
  2. Dede Haryadi, SH
  3. Yosef L. Koten, SH
  4. Onggan J.S. Napitu, SH
  5. Rudolf Silalahi, SH
  6. Hendrik MS. Sunardi, SH
  7. Andi Walinga, SH
  1. Bidang Non Litigasi :

Pidana :

  1. Ade Renaldi, SH
  2. Eko Yulianto, SH
  3. Hendra, SH
  4. Edison Hutapea, SH
  5. Moh. Syaiful Fahri

Perdata :

  1. Agus Junaedi (DP), SH
  2. Nikolas Tobing, SH
  3. Darmansyah Siregar, SH
  4. Stela Maris Kilikily
  5. Yusrizal

VI. Pertanahan :

  1. Margo Rahayu, SH
  2. Mintarja, SH
  3. Arens Louhenapessy

VII.Informasi & Komunikasi :

  1. Ny. Yoanna Saragi
  2. Erna Boykela Ratmala
  3. Ir. Helmi Wenno
  4. Fransisca

VIII.Perdagangan & Perindustrian :

  1. Farry Muharram
  2. John Kakisina
  3. H. Muslani
  4. Rus

IX.Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak:

  1. Sri Lestari, SH
  2. Rokayati, SH
  3. Fransin Tuela, SH
  4. Yostina O. Kilikily

X.Wirausaha & Tenaga Kerja :

  1. Ade Alibasa
  2. Am Coam
  3. H. Salman
  4. Ujang

XI.Investigasi & Monitoring :

  1. Untung Surono, Dipl. of. Law
  2. Ir. Fadillah
  3. Ridwan Kasiwiang (Dg. King)
  4. J. Baskoro. S
  5. John Aidi
  6. Djunaedy (Edy Gondrong)
  7. H. Uwen Djuweni

XII.Kerohanian & Pembinaan :

  1. Ustadz Surya Kencana
  2. Buya Drs. Masnil, MM
  3. Pdt. Okim Sugiarto
  4. Pdt. Cresh Karadeth
  5. Pdt. Ony Kilikily
  6. Bethi Maria Weler
  7. Pdt. Marthen Boway

XIII.Pendidikan Lingkungan Hidup & Tekhnologi :

  1. Nuryakin, S. Pd
  2. Desy Marantika
  3. Andito, S. Pd